Site icon Gilabola.com

Dari Medioker ke Monster, Crystal Palace Tiba-Tiba Jadi Raja Eropa, Kok Bisa?

Kebangkitan Crystal Palace dari tim medioker kini raja Eropa

Kebangkitan Crystal Palace dari tim medioker kini raja Eropa

Gilabola.com – Crystal Palace kini sedang menjalani periode luar biasa dengan rekor 18 laga tak terkalahkan yang membuat seluruh Eropa mulai menaruh perhatian serius, terutama setelah mereka menumbangkan klub-klub besar seperti Liverpool, Arsenal, Tottenham, Manchester City, hingga Chelsea.

Rekor Tak Terkalahkan yang Mengubah Peta Persaingan

Apa yang awalnya dianggap sebagai sekadar tren unik, kini berubah menjadi pernyataan nyata dari tim asal London Selatan ini. Rekor 18 pertandingan tanpa kalah di semua kompetisi menyamai catatan terbaik klub sejak tahun 1969. Bedanya, kali ini lawan-lawan yang mereka hadapi adalah raksasa sesungguhnya.

Liverpool sudah mereka kalahkan dua kali dalam tiga pertemuan, Arsenal hanya bisa bermain imbang, Tottenham dibuat terkejut, bahkan Manchester City dipaksa menyerah di final Piala FA. Chelsea pun tidak berdaya di Stamford Bridge. Tidak heran seorang fans Palace sempat bercanda, “Chelsea yang menahan Palace, bukan sebaliknya.”

Glasner Mengubah Identitas Palace

Kebangkitan ini tidak lepas dari tangan dingin Oliver Glasner. Bukan sekadar tim pengacau, Palace di bawah Glasner punya disiplin taktik, keberanian menyerang, hingga ketangguhan bertahan. Arne Slot mengakui usai Liverpool kembali dikalahkan: “Bukan pertama kali kami kalah dari mereka. Palace sangat rapi dalam set-piece, tajam saat menyerang balik, dan pertahanannya nyaris sempurna.”

Fakta bahwa mereka hanya kebobolan 12 gol sepanjang rangkaian ini menunjukkan solidnya lini belakang. Bahkan Pep Guardiola pun harus mengakui secara pribadi bahwa Palace adalah “mimpi buruk untuk dilawan,” setelah City kehilangan aura tak terkalahkan di final Piala FA.

Dari Skuad Tambal Sulam Jadi Tak Tekalahkan

Jika dulu Palace dianggap sekadar tim papan tengah, kini narasi itu sudah usang. Adam Wharton tampil matang di lini tengah, Marc Guehi kokoh di belakang, Jean-Philippe Mateta bekerja tanpa lelah, dan Tyrick Mitchell berkembang pesat. Ismaila Sarr memberi daya ledak, sementara para pemain lain berkontribusi di momen-momen krusial.

Bahkan Virgil van Dijk pun mengaku setelah melawan Palace: “Kalau kami dapat satu poin saja, itu sudah terlalu beruntung.” Ucapan itu membuktikan kualitas Palace bukan sekadar kejutan, melainkan benar-benar nyata.

Bangkit dari Rintangan

Perjalanan ini makin istimewa karena justru lahir dari masalah besar. UEFA dan CAS menurunkan Palace dari Liga Europa ke Liga Konferensi hanya beberapa minggu sebelum musim dimulai. Ditambah lagi, penjualan Eberechi Eze ke Arsenal sembilan hari sebelum bursa transfer ditutup sempat dianggap pukulan telak.

Namun kenyataannya, justru semua itu membuat mereka semakin solid. Dengan trofi Piala FA dan Community Shield sudah di tangan, dukungan fans Selhurst Park kini terasa semakin lantang. Nyanyian mereka, “Now you’re gonna believe us, we’re gonna win the league!” mungkin masih dianggap bahan bercanda, tapi fakta di lapangan sudah sulit untuk dibantah.

Analisis: Dari Medioker ke Elit

Selama bertahun-tahun, Palace terbiasa dengan zona aman papan tengah, kadang dihantui ancaman degradasi, dan bergantung pada manajer veteran seperti Roy Hodgson. Kini, fans menyaksikan sesuatu yang berbeda: sebuah tim yang berani bermimpi besar.

Mengalahkan Liverpool, Arsenal, Tottenham, hingga Manchester City di final Piala FA adalah bukti nyata. Kehilangan Eze justru membebaskan tim untuk tampil kolektif. Setiap kali Wharton menguasai bola dengan tenang atau Guehi memenangkan duel udara, Palace terlihat seperti tim yang memang pantas berada di level teratas.

Atmosfer Selhurst Park sejak lama sudah luar biasa. Bedanya, sekarang performa tim di lapangan benar-benar sepadan dengan energi suporter. Ketika bahkan Van Dijk mengaku Palace lebih superior dari Liverpool, mungkin saatnya Eropa benar-benar mulai percaya.

Exit mobile version