Gila Bola – Newcastle United mendapat sorotan saat mereka tidak hanya berjuang keras dalam kompetisi, tetapi juga menghadapi keterbatasan keuangan akibat aturan Premier League yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai penghambat, terutama bagi klub yang ingin bersaing dengan “enam besar” liga.
Pembatasan tersebut, yang melarang kerugian lebih dari Rp 2,14 Trilyun selama tiga tahun, memaksa Newcastle untuk menyesuaikan strategi keuangannya agar tidak terkena sanksi.
Pakar keuangan sepak bola, Kieran Maguire, memberikan kritik tajam terhadap batasan kerugian ini, menyebutnya sebagai “aturan yang konyol”. Menurutnya, aturan ini diperkenalkan lebih dari satu dekade yang lalu dan tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi saat ini, terutama mengingat tingkat inflasi yang signifikan. Maguire menyarankan bahwa batasan kerugian harus diperbarui untuk mencerminkan inflasi dan kondisi ekonomi yang berubah.
Selama musim panas, Aston Villa menjadi salah satu klub yang aktif dalam mendorong perubahan batas kerugian, mengusulkan batas baru sebesar Rp 2,75 Trilyun untuk mencerminkan panduan inflasi dari Bank of England.
Sayangnya, upaya mereka menemui hambatan, dan pengajuan tersebut akhirnya ditolak. Pemilik Villa, Nassef Sawiris, bahkan mempertimbangkan tindakan hukum sebagai upaya melawan aturan ini.
Sejak diambil alih oleh Dana Investasi Publik Arab Saudi pada tahun 2021, Newcastle menghabiskan dana besar untuk memperkuat tim. Namun, aktivitas transfer mereka terkendala oleh aturan Profitabilitas dan Keberlanjutan Premier League.
Akibatnya, Newcastle harus melepaskan beberapa pemain, seperti Elliot Anderson dan Yankuba Minteh, agar tetap berada dalam batas kerugian yang diperbolehkan dan menghindari risiko pengurangan poin.
Dalam pandangan Maguire, aturan ini dirancang bukan untuk memastikan keberlanjutan finansial, tetapi untuk menjaga agar “enam besar” tetap dominan. Dia berpendapat bahwa pembatasan keuangan semacam ini tidak hanya tidak logis tetapi juga membatasi peluang klub-klub seperti Villa dan Newcastle untuk berkembang dan bersaing di tingkat yang lebih tinggi.
Maguire berargumen bahwa aturan ini seolah-olah menjaga eksklusivitas klub-klub besar dan menghalangi munculnya pesaing baru yang dapat menggoyahkan dominasi yang sudah ada.
Maguire menjelaskan bahwa jika batasan kerugian sebesar Rp 2,14 Trilyun dihitung ulang berdasarkan pendapatan klub Liga Primer saat ini, maka seharusnya nilai tersebut meningkat menjadi sekitar Rp 5 Trilyun.
Hal ini membuat beberapa klub bertanya-tanya mengenai sanksi yang akan dijatuhkan kepada klub lain yang melanggar batasan kerugian, seperti Everton atau Nottingham Forest. Dia menyebut bahwa ancaman pengurangan poin hampir tidak mungkin terjadi jika mempertimbangkan kondisi keuangan yang berlaku.
Perlu Diperlonggar
Selain itu, Maguire menekankan bahwa jika aturan ini diperlonggar, klub seperti Aston Villa dan Newcastle akan memiliki kesempatan untuk berinvestasi lebih banyak dalam pengembangan tim mereka.
Dua menyoroti bahwa para pemilik klub-klub ini sangat tertarik untuk melakukan investasi lebih lanjut, namun sayangnya terhambat oleh aturan Premier League yang mengikat ini.
Maguire juga mengingatkan akan risiko yang mungkin terjadi jika aturan tersebut dibiarkan begitu saja. Dia memberi contoh kasus ITV Digital, ketika jaringan televisi tersebut bangkrut dan memengaruhi finansial klub-klub sepak bola di Inggris.
Menurutnya, jika skenario serupa terjadi, banyak klub Premier League yang akan berada dalam posisi rentan. Meskipun risiko tersebut tak berarti bahwa klub tidak boleh memanfaatkan pendanaan dari perusahaan TV, tetapi Maguire merasa ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan kembali dalam kebijakan ini.
Sebagai dampak dari pembatasan ini, Newcastle dan Aston Villa, meski memiliki ambisi yang tinggi dan berhasil lolos ke Liga Champions, tetap harus memperhitungkan keuangan mereka secara hati-hati.
Kesuksesan mereka di lapangan, menurut Maguire, tidak seharusnya terhambat oleh aturan yang sudah usang dan tidak mencerminkan realitas ekonomi terkini. Ini merupakan isu yang mencuat dan menuai perdebatan di kalangan fans serta pihak klub yang menuntut perubahan lebih relevan agar kompetisi tetap adil dan kompetitif.