Gilabola.com – Bagi penggemar Premier League, tanggal 26 Desember bukan sekadar kelanjutan libur Natal. Boxing Day adalah jantung kalender sepak bola Inggris—hari di mana stadion dipenuhi keluarga, suhu dingin menusuk, dan drama lapangan hijau tersaji tanpa kompromi. Saat liga-liga elite Eropa lain memilih rehat musim dingin, Liga Inggris justru tancap gas dengan jadwal padat yang kerap melahirkan kejutan.
Tradisi ini bukan sekadar romantisme masa lalu. Boxing Day telah menjelma menjadi simbol identitas Premier League: kombinasi sejarah, hiburan, dan nilai komersial yang luar biasa. Dari hujan gol legendaris hingga debat soal kelelahan pemain, 26 Desember selalu menjadi hari yang tak pernah biasa.
Sayangnya, musim 2025/26 hanya akan ada satu pertandingan saja di Boxing Day! Yaitu laga antara Manchester United vs Newcastle United!
Akar Sejarah: Dari Kotak Hadiah ke Rumput Hijau
Nama Boxing Day sama sekali tidak berkaitan dengan olahraga tinju. Istilah ini berasal dari budaya Inggris abad ke-19, ketika para majikan memberikan Christmas Box—kotak berisi hadiah atau uang—kepada pelayan dan masyarakat kurang mampu sehari setelah Natal.
Dalam sepak bola, momen ini perlahan berubah menjadi hiburan rakyat. Catatan sejarah menunjukkan pertandingan Boxing Day pertama digelar pada 1860, mempertemukan Sheffield FC dan Hallam FC, dua klub tertua di dunia. Sejak saat itu, 26 Desember menjadi panggung ideal bagi kelas pekerja Inggris untuk menikmati hiburan di hari libur.
Menariknya, hingga pertengahan 1950-an, sepak bola Inggris masih memainkan pertandingan resmi tepat pada 25 Desember. Namun perubahan pola transportasi dan meningkatnya fokus pada perayaan keluarga membuat laga Natal dihapus pada 1957. Sejak itu, Boxing Day berdiri sendirian sebagai hari paling sakral dalam kalender sepak bola Inggris.
26 Desember 1963: Hari Paling Gila dalam Sejarah Sepak Bola
Tak ada cerita Boxing Day tanpa menyebut 26 Desember 1963—hari yang hingga kini dianggap sebagai yang paling liar dalam sejarah liga Inggris. Dalam satu hari, 66 gol tercipta hanya dari 10 pertandingan kasta tertinggi.
Beberapa skor terdengar nyaris mustahil:
- Fulham 10-1 Ipswich Town
- Burnley 6-1 Manchester United
- Blackburn Rovers 8-2 West Ham United
Deretan hasil tersebut membentuk mitos yang bertahan lintas generasi: Boxing Day harus menghibur, liar, dan penuh gol. Sejak saat itu, ekspektasi publik terhadap laga 26 Desember selalu lebih tinggi dibanding hari pertandingan biasa.
Faktor Logistik: Derby Lokal dan Transportasi Terbatas
Di balik romantisme Boxing Day, ada alasan praktis yang kuat. Pada era sebelum kereta cepat dan penerbangan domestik murah, otoritas liga sengaja menyusun jadwal dengan mempertemukan klub-klub yang berdekatan secara geografis.
Derby lokal dipilih agar pemain dan suporter tidak perlu melakukan perjalanan jauh di tengah keterbatasan transportasi publik saat hari libur nasional. Pola ini bukan hanya efisien, tetapi juga meningkatkan atmosfer stadion—karena laga derby selalu sarat emosi dan rivalitas.
Mesin Uang Bernama Boxing Day di Era Modern
Di era Premier League modern, Boxing Day telah berevolusi menjadi aset komersial kelas dunia. Saat liga-liga top Eropa lain berhenti, Premier League menikmati sorotan global tanpa pesaing. Hak siar melonjak, rating televisi meroket, dan stadion nyaris selalu penuh.
Sebagai ilustrasi, satu klub papan tengah Premier League bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp10 miliar hingga Rp16 miliar (sekitar $620 ribu–$1 juta) hanya dari satu pertandingan Boxing Day. Angka tersebut berasal dari kombinasi penjualan tiket, merchandise, konsumsi stadion, dan eksposur media yang jauh lebih tinggi dibanding laga reguler.
Pandangan Kami
Menurut kami, Boxing Day selalu menghadirkan sensasi tersendiri. Menonton laga laga Liga Inggris di tengah libur akhir tahun terasa pas—bahkan sering menjadi agenda wajib selepas makan malam bersama keluarga. Namun di balik kemeriahan itu, ada pertanyaan besar soal beban fisik pemain.
Keluhan pelatih top seperti Jürgen Klopp atau Pep Guardiola bukan tanpa dasar. Jadwal padat di tengah musim dingin meningkatkan risiko cedera dan menurunkan kualitas performa. Dalam konteks ini, Premier League kerap terlihat lebih mengutamakan nilai komersial dibanding kesejahteraan atlet.
Meski demikian, sulit membayangkan Premier League tanpa Boxing Day. Tradisi ini adalah bagian dari DNA liga—pembeda utama dari kompetisi lain. Tanpa 26 Desember yang penuh drama, Premier League mungkin tetap besar, tetapi kehilangan sebagian jiwanya.
Bagi kita di Indonesia, Boxing Day adalah pengingat bahwa sepak bola bukan hanya industri miliaran rupiah, melainkan warisan budaya. Sebuah ritual tahunan yang menyatukan keluarga, baik di stadion bersalju Inggris maupun di ruang tamu rumah, setiap tanggal 26 Desember. Itulah indahnya sepakbola!

