Mentalitas Lemah, Tapi Everton Masih Mikir Mereka Adalah Real Madrid!

Gilabola.com – Hasil imbang 2-2 melawan Ipswich Town di Goodison Park kembali menyisakan kekecewaan mendalam. Everton sudah unggul dua gol, namun sekali lagi gagal mempertahankan keunggulan. Pertanyaan besar kembali muncul: apa yang salah dengan mentalitas para pemain Everton?

Fans Sudah Semangat, Tapi Pemain Tidak Menjawab

Suporter sudah memberikan segalanya. Dukungan luar biasa dari kelompok 1878s yang menghidupkan atmosfer pra-pertandingan benar-benar membuat suasana terasa seperti pertandingan besar. Para relawan 1878s telah bekerja keras demi membakar semangat para pemain. Tapi, apa balasan dari mereka?

Alih-alih tampil penuh semangat, Everton memulai laga dengan lamban. Penonton yang awalnya berdiri penuh semangat, akhirnya duduk kembali karena penampilan yang pasif. Kita tahu Everton bukan klub terbaik di dunia, tapi bagi fans, mereka hanya menuntut satu hal: kerja keras dan hasrat bertarung!

Masalah Mentalitas dan Manajemen Pertandingan

Everton saat ini sedang dilanda masalah besar: mentalitas yang rapuh. Setelah unggul dua gol, pemain-pemain seolah merasa pertandingan sudah dimenangkan.

Tidak ada lagi tekanan, tidak ada lagi agresivitas. Mereka seperti lupa bahwa sepak bola bukan hanya soal mengontrol bola, tapi juga soal menutup ruang dan menyudahi lawan.

Ipswich mungkin sudah terdegradasi, tapi mereka bermain dengan kebanggaan. Mereka melakukan pergantian lebih cepat, menampilkan energi baru, dan menyamakan kedudukan. Everton? Terlambat membaca situasi, terlalu santai, dan terlalu percaya diri.

Ketika Ipswich mencetak gol pertama dengan tembakan indah, ya, memang itu tendangan spektakuler. Tapi seharusnya bisa dicegah lebih awal. Pemain Everton tidak menutup ruang tembak, tidak menunjukkan tekad untuk bertahan. Seakan-akan para pemain berkata, “Silakan, coba saja.”

Itulah sikap yang membuat fans jengkel: terlalu pasif dan tidak punya naluri membunuh pertandingan.

Performa yang Setengah Hati dan Formasi yang Aneh

Taktik yang digunakan juga menimbulkan tanda tanya. Dwight McNeil bermain di kanan, Carlos Alcaraz di kiri — aneh, karena keduanya sering menumpuk ruang di tengah dan menghambat pergerakan Iliman Ndiaye yang dimainkan sebagai nomor 10.

Padahal banyak fans ingin melihat Ndiaye tampil di posisi itu, dan dia menunjukkan potensi saat terlibat dalam gol kedua.

Gol pertama dari Beto luar biasa — sundulan yang membuat Goodison bergemuruh. Gol kedua juga merupakan kerja sama apik antara Ndiaye dan McNeil.

Tapi meski dominan di sebagian besar laga, Everton tidak benar-benar mengancam di sepertiga akhir. Terlalu banyak umpan horizontal dan terlalu sedikit penetrasi.

Setelah skor 2-2, hanya satu tim yang terlihat ingin menang — dan itu bukan Everton. Mereka terlalu nyaman bermain aman, padahal fans sudah menuntut lebih. Fans ingin melihat semangat, tekel keras, atau satu momen brilian yang bisa mengangkat semangat stadion. Tapi tidak, semua terlalu aman, terlalu lambat.

Statistik Mengerikan dan Ujian Selanjutnya

Statistiknya jelas: Everton empat kali unggul dua gol musim ini dan tak pernah menang. Itu bukan karena taktik atau kualitas semata, tapi karena tidak adanya mental bersaing. Para pemain terlalu santai, mengira bisa menyelesaikan laga hanya dengan menjaga bola dan memainkan operan simpel.

Gol kedua Ipswich adalah hasil dari kesalahan Nathan Patterson. Dia kehilangan bola, lalu terlihat mengalami cedera kepala — wasit seharusnya menghentikan permainan, tapi Patterson bangkit sendiri, mengejutkan semua. Namun Everton berhenti bermain, membiarkan Ipswich menyerang.

Ini kembali ke pertanyaan: kapan terakhir kita melihat gelandang Everton menerima bola, berbalik, dan menggiring ke depan sejauh 20 meter tanpa tantangan?

Everton harus berhenti merasa diri mereka seperti Real Madrid. Umpan ke belakang, ke samping, sangat lambat, dan tidak ada ancaman nyata di depan. Padahal Ipswich-lah yang lebih banyak menciptakan peluang.

Tugas Berat di Depan Mata

Selanjutnya, Everton akan menghadapi Fulham — klub yang kini dilatih oleh Marco Silva, pelatih yang mungkin dulu terlalu cepat dilepas. Tapi saat itu, Everton sedang menghabiskan banyak uang dan hasil di lapangan tak mencerminkan investasi tersebut. Kini, di Fulham, Marco menikmati sepak bola tanpa tekanan besar seperti di Goodison Park.

Namun mereka tidak bisa memikirkan masa lalu terus-menerus. Everton harus fokus pada diri sendiri. Perjalanan ke Craven Cottage bukan perkara mudah, tapi penting untuk membawa pulang poin.

Targetnya kini sederhana: finis setinggi mungkin di klasemen mini yang kini jadi kenyataan The Toffees — bersaing dengan klub-klub papan tengah yang juga sedang berjuang.