Gilabola.com – Mohamed Salah layak dikenang sebagai salah satu pemain terhebat dalam sejarah Liverpool. Dalam delapan tahun terakhir, penyerang asal Mesir itu mencetak 250 gol dari 420 penampilan, menghadirkan momen-momen ikonik, serta ikut mengantarkan klub meraih dua gelar Premier League dan satu Liga Champions. Berdasarkan kontribusi di atas lapangan semata, namanya seharusnya tercatat sebagai pahlawan Anfield.
Namun, pencapaian luar biasa itu kini terancam kehilangan makna.
Alih-alih memperkuat statusnya sejajar dengan legenda seperti Kenny Dalglish, Steven Gerrard, dan Graeme Souness, sikap Salah justru memicu jarak yang semakin lebar dengan klub dan pendukungnya sendiri. Apa yang ia lakukan bukan sekadar membakar hubungannya dengan Liverpool, tetapi menghancurkannya dengan penuh kesadaran.
Wawancara yang Mengubah Segalanya
Masalah ini memuncak setelah Salah memberikan komentar kontroversial usai imbang 3-3 melawan Leeds, pertandingan di mana ia secara mengejutkan memulai laga dari bangku cadangan. Alih-alih menunjukkan profesionalisme, pernyataannya justru terkesan menyerang situasi internal tim.
Bukan kali pertama Salah memilih berbicara di zona campuran dengan agenda personal. Setiap kali itu terjadi, pesannya selalu sarat kepentingan diri sendiri. Kali ini pun tak berbeda. Komentar tersebut seolah menempatkan dirinya sebagai korban, merasa telah “dikorbankan”, dan menolak untuk bercermin pada realitas tim.
Bukan Mental Legenda Liverpool
Salah satu bagian paling mencolok dari pernyataannya adalah klaim bahwa ia tidak seharusnya berjuang setiap hari untuk mempertahankan posisinya karena apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Bagi klub seperti Liverpool, mentalitas tersebut jelas bertolak belakang dengan nilai yang dijunjung tinggi.
Legenda sejati Anfield tak pernah mengandalkan reputasi masa lalu. Mereka terus membuktikan diri, musim demi musim, latihan demi latihan. Sikap Salah justru memancarkan arogansi berlebihan, seolah kontribusi sebelumnya memberinya kekebalan mutlak.
Menggoyang Posisi Manajer
Dengan menempatkan dirinya berseberangan secara terbuka dengan Arne Slot, Salah secara tidak langsung memicu tekanan terhadap manajer yang baru saja menjuarai liga beberapa bulan lalu. Langkah ini sulit dianggap spontan. Banyak yang menilai wawancara tersebut telah direncanakan, dengan tujuan menyelamatkan posisi pribadi meski harus mengorbankan stabilitas tim.
Bagi Liverpool, akan menjadi keputusan keliru jika memilih berpihak pada pemain berusia 33 tahun yang dinilai mulai menurun performanya ketimbang manajer yang masih berada di jalur kesuksesan.
Akhir yang Tak Terelakkan
Masa depan Salah di Liverpool kini terlihat mendekati garis finis. Entah pada jendela transfer Januari atau musim panas mendatang, skenario kepindahan—dengan Liga Pro Saudi sebagai tujuan paling memungkinkan—semakin sulit dihindari.
Ketika hari itu tiba, Liverpool barangkali tidak hanya siap melepas Salah secara teknis, tetapi juga secara emosional. Warisan yang seharusnya abadi kini tercoreng oleh sikap yang dinilai egois dan mementingkan diri sendiri.
Pandangan Kami
Menurut kami, Salah tetaplah pemain besar dengan kontribusi nyata bagi Liverpool, namun legenda sejati tidak hanya dinilai dari jumlah gol atau trofi. Cara bersikap di saat sulit sering menjadi pembeda utama. Dalam kasus ini, reaksi dan pernyataan Salah justru menjauhkan jarak antara dirinya dan status legenda sejati Anfield.

