Gilabola.com – Tottenham kembali tersandung dalam laga Premier League melawan Chelsea, dan nama Thomas Frank langsung disorot setelah kekalahan mengecewakan 0-1 di London derby yang berjalan hambar—jauh dari drama liar beberapa pertemuan sebelumnya.
Spurs merekrut Frank untuk menghadirkan struktur dan agresivitas, terutama setelah era Ange Postecoglou penuh risiko dan permainan terbuka. Namun justru sebaliknya yang terjadi.
Bukannya solid dan efektif, Tottenham tampil tanpa nyawa. Statistik menyeramkan itu berbicara: xG hanya 0,05—yang terendah klub ini sejak data tersebut dipakai di Premier League pada musim 2012-13.
Bandingkan dengan Chelsea yang mencatat xG 3,03. Tanpa penyelamatan brilian Guglielmo Vicario dan kegagalan Jamie Gittens memanfaatkan peluang emas, skor bisa jauh lebih buruk.
“Ini menyakitkan sekali,” ujar Frank. “Saya belum pernah melatih tim yang menciptakan peluang sedikit seperti ini dalam satu pertandingan.” Ia mengakui harus melakukan evaluasi menyeluruh.
Frustrasi Fans Menggelegar, Kreativitas Spurs Mati Total
Publik Tottenham selama ini bisa menerima kekalahan yang penuh aksi saat era Postecoglou, tetapi kali ini mereka kehabisan kesabaran. Sorakan tak puas terdengar ketika Vicario memilih operan pendek kepada Djed Spence ketimbang mengirim bola panjang ke depan. Situasi makin panas ketika peluit panjang berbunyi.
Frank bahkan mengakui Chelsea tampil lebih kuat secara fisik—pengakuan pahit di hadapan rival langsung. Harapan Spurs seolah hanya bergantung pada bola mati, tapi Robert Sanchez dengan mudah mengamankan seluruh umpan.
Pedro Porro berkali-kali mencoba mengirim bola lob ke arah Mohammed Kudus, sementara Xavi Simons kesulitan setelah menggantikan Lucas Bergvall yang mengalami cedera kepala dan harus mengikuti protokol gegar otak.
Catatan kandang Spurs juga mulai mengkhawatirkan. Dari empat laga liga terakhir di London Utara, tak satu pun menghasilkan xG lebih dari 1,0. Hanya satu kemenangan, disertai tiga kekalahan—stadion megah itu kini terasa gelisah dan ragu.
Panas di Ruang Ganti, Van de Ven & Spence Langsung Masuk Terowongan
Ketegangan internal pun mencuat. Micky van de Ven dan Spence langsung menuju ruang ganti tanpa menyalami staf pelatih, meski Frank dan pelatih set piece Andreas Georgson mencoba menghentikan mereka.
Padahal Frank baru saja memuji Van de Ven pekan lalu setelah brace-nya melawan Everton dianggap titik balik. Frank menyebut insiden ini sebagai “salah satu masalah kecil”, namun tetap menimbulkan tanda tanya besar soal suasana ruang ganti.
Secara posisi, Spurs memang masih berada di atas Chelsea berkat selisih gol dan masih bersaing di empat besar. Mengingat mereka finis di posisi ke-17 musim lalu, perkembangan ini terlihat jelas di atas kertas. Tetapi persepsi publik berkata lain.
Bayangan Era Nuno Kembali Hantui Spurs
Suasana saat ini mengingatkan pada masa Nuno Espirito Santo: awal menjanjikan, lalu permainan kehilangan identitas. Fans Spurs tidak menuntut kecerobohan, tetapi mereka menuntut karakter dan ambisi. Frank berhasil memperbaiki pertahanan, namun kreativitas dan ritme belum muncul.
Emosi terlihat di pinggir lapangan—Frank menendang botol, Kudus, Joao Palhinha, dan Rodrigo Bentancur agresif dalam duel. Bergvall bahkan mempertanyakan keputusan keluar lapangan karena gegar otak, meski tim medis bertindak benar. Semangat ada, tetapi ide tak mengalir.
Dengan pertandingan besar menanti, termasuk lawatan Eropa ke markas Monaco dan Paris Saint-Germain, perjalanan Tottenham musim ini yang sebelumnya tampak menjanjikan kini berubah menjadi ujian sesungguhnya.
Frank harus menemukan kreativitas secepat mungkin, karena statistik, opini publik, dan perbandingan dengan pelatih sebelumnya mulai menyalakan alarm di London Utara.

