Statistiknya Edyan! Declan Rice Lebih Kreatif dari Dua Legenda Liga Inggris di Musim Terbaiknya!

Gilabola.com – Sejauh mana Declan Rice bisa melangkah di dunia sepak bola? Dan tipe pemain seperti apa yang akan ia bentuk di masa depan? Bisakah bintang Arsenal ini mengikuti jejak Yaya Toure dan Steven Gerrard menjadi legenda gelandang ternaik sepanjang masa?

Gelandang timnas Inggris ini tampil luar biasa pada Rabu malam saat Arsenal menyingkirkan Real Madrid di Santiago Bernabeu untuk mengamankan tempat di semifinal Liga Champions UEFA. Sebuah laga besar melawan Paris Saint-Germain sudah menanti, dan Rice bersiap untuk menempatkan namanya di jajaran legenda sepak bola dunia.

Rice baru saja mengantongi dua penghargaan Man of the Match beruntun — keduanya diraih di babak gugur Liga Champions melawan Real Madrid. Jika penampilan gemilang Bukayo Saka di Bernabeu disebut-sebut sebagai pembuktian dirinya sebagai pemain kelas dunia, maka Declan Rice pun sedang menuju status yang sama.

Dari dua gol tendangan bebas luar biasanya di leg pertama, hingga performa dominan penuh energi di leg kedua yang memastikan Arsenal lolos ke semifinal, Rice benar-benar menunjukkan kedewasaannya di panggung terbesar.

Dari Gelandang Bertahan Menjadi Motor Serangan

Di usia 26 tahun, Rice memang baru bermain 21 pertandingan Liga Champions, namun ia dengan cepat menjadikan edisi musim ini sebagai panggungnya saat Arsenal membidik final Liga Champions pertama mereka sejak 2006 — yang juga baru akan menjadi final kedua The Gunners sepanjang sejarah.

Rice memang sudah pernah mengangkat trofi Eropa bersama West Ham di UEFA Conference League musim 2022/23. Tapi ini jelas level yang berbeda. Kami menelusuri kembali bagaimana Rice berevolusi dalam tiga tahun terakhir — dan apakah ia bisa mengikuti jejak dua idolanya di lini tengah.

Saat masih di West Ham, David Moyes biasa menempatkannya sebagai salah satu dari dua gelandang bertahan dalam formasi 4-2-3-1, berdampingan dengan Tomas Soucek. Sementara para pemain seperti Lucas Paqueta, Jarrod Bowen, dan Pablo Fornals bertugas lebih ke depan.

Di Arsenal, Rice awalnya juga bermain di posisi ini — sebagai pivot tunggal. Namun, Mikel Arteta melihat sesuatu yang lebih dari Rice dan merasa kualitasnya akan lebih maksimal jika bermain lebih ke depan.

Berbicara di akhir 2023, Arteta mengatakan,

“Dia [Rice] punya naluri mencetak gol saat berada di kotak penalti lawan. Itu bisa terus dikembangkan. Kepemimpinannya juga akan berkembang seiring waktu di klub. Saya suka kehadirannya di lapangan, dia punya sesuatu yang spesial. Bermain sebagai No. 8, dia bisa jadi pemain luar biasa.”

Bermain di posisi No. 8, berdampingan dengan Martin Odegaard, Rice menemukan rumahnya di Arsenal. Jika melihat peta sentuhannya selama tiga musim terakhir di Premier League, perubahan ini sangat jelas.

Data statistiknya pun menunjukkan perkembangan yang pesat sesuai prediksi Arteta:

Statistik per 90 menit22/2323/2424/25
Gol + assist0,170,420,30
Peluang tercipta1,021,311,90
Tembakan total0,991,621,45

Kenaikan signifikan di semua kategori ini membuktikan bahwa Rice kini bukan hanya vital secara defensif, tetapi juga ofensif — membuatnya mulai dibandingkan dengan para gelandang legendaris yang selama ini jadi panutannya.

Mengikuti Jejak Toure dan Gerrard

Apa yang akan terjadi selanjutnya bagi Rice? Apakah ia bisa bermain lebih ke depan lagi, di posisi No. 10? Dengan kualitas all-round yang dimiliki, ditambah kemampuannya sebagai eksekutor bola mati yang kini bertugas mengambil sebagian besar tendangan bebas dan sepak pojok Arsenal, Rice mulai terlihat melakukan segalanya.

Hal ini tak mengejutkan jika mengingat salah satu idolanya adalah Yaya Toure. Rice juga pernah mengatakan bahwa ia ingin sekali bermain bersama Steven Gerrard.

“Salah satu idola saya,” kata Rice soal Toure saat bertemu dengannya pada 2022.
“Saya benar-benar banyak meniru permainannya.”

Seperti Rice, baik Toure maupun Gerrard juga sempat berpindah posisi di lini tengah sepanjang karier mereka. Namun, arah karier keduanya berbeda — Gerrard semakin ke belakang saat di Liverpool, sementara Toure yang dulu berperan sebagai gelandang bertahan di Barcelona bahkan pernah main di posisi bek, lalu justru makin dekat ke gawang lawan saat membela Manchester City.

Melihat gabungan statistik gol dan assist di Premier League, musim terbaik Toure dan Gerrard terjadi pada 2013/14. Begini perbandingan mereka dengan Rice musim ini:

Statistik TotalRice 24/25Toure 13/14Gerrard 13/14
Gol22013
Assist6913
Peluang tercipta514169
Tembakan396460

Meski jumlah gol Rice masih jauh tertinggal, jumlah peluang yang ia ciptakan mulai menyamai bahkan melebihi keduanya. Ini menjadi sinyal bahwa Rice lebih mengarah ke kreator permainan ketimbang pencetak gol murni, meskipun musim lalu ia sempat mencetak tujuh gol di Premier League.

Lebih dari sekadar angka, Rice kini mulai dikenal sebagai pemain yang bisa mengubah jalannya pertandingan — sebagaimana diungkapkan Mikel Arteta usai kemenangan atas Real Madrid.

“Malam ini dia luar biasa. Dia mengubah pertandingan. Saat laga masih 50/50, dia ambil alih dan membalikkan keadaan. Dia tampil sangat luar biasa. Dia membuat perbedaan,” kata Arteta kepada TNT Sports.

Jika melihat pencapaian Yaya Toure — lima gelar liga, satu Liga Champions, dan satu Piala Afrika — serta Steven Gerrard — satu Liga Champions, satu UEFA Cup, dan lima trofi domestik — mungkinkah Rice bisa melampaui itu di paruh kedua kariernya?