Gilabola.com – Manchester City gagal menutup musim yang sulit dengan trofi, setelah secara mengejutkan dikalahkan Crystal Palace 0-1 dalam final Piala FA di Wembley. Kekalahan ini tak hanya menandai akhir dari harapan City untuk mengangkat trofi domestik, tetapi juga menyingkap ketegangan dan frustrasi yang mengendap sepanjang musim di dalam skuad Pep Guardiola.
Kekalahan ini adalah pukulan telak bagi tim yang telah membangun reputasi sebagai raksasa tak terhentikan. Namun di Wembley, dominasi penguasaan bola tak berarti apa-apa. Gol tunggal Eberechi Eze dan penyelamatan penalti krusial dari Dean Henderson cukup untuk mengubur ambisi City—dan memperlihatkan emosi yang selama ini tersembunyi di balik wajah datar para pemain.
Haaland Membeku di Tengah Lapangan, De Bruyne Ambil Jalan Sendiri
Saat peluit akhir dibunyikan dan para pemain Palace merayakan kemenangan bersejarah mereka, para pemain City terlihat terpaku, tak percaya dengan hasil yang baru saja terjadi. Josko Gvardiol terduduk lesu di atas rumput, menatap kosong.
Namun pemandangan paling mencolok datang dari Erling Haaland. Ia berdiri mematung di garis tengah, tak bergeming, memandang ke arah fans Palace yang bersorak. Ia kemudian menoleh ke arah fans City, tetap diam, seolah tak ingin menjadi bagian dari apa pun yang sedang terjadi. Perlahan ia berjalan kembali ke rekan-rekannya, tapi tetap menjaga jarak.
Haaland sebelumnya menyebut musim ini sebagai musim yang “membosankan” dan “mengerikan”, serta mempertanyakan hasrat rekan-rekannya. Dan di Wembley, ia kembali gagal mencetak gol—sudah enam pertandingan final di Wembley tanpa satu pun gol.
Sementara itu, Kevin De Bruyne, yang semula digadang-gadang akan menutup kariernya bersama City dengan trofi, terlihat frustrasi. Ia sempat tampak ingin langsung masuk ke ruang ganti, namun berbalik mengambil sebotol air, lalu melakukan lap of honour pribadi di depan fans City yang tetap memberinya tepuk tangan.
Guardiola Marah, Echeverri Debut Mengejutkan
Pep Guardiola tampak geram di sisi lapangan, terutama setelah VAR membatalkan potensi penalti untuk City di babak pertama. Mayoritas pemain City hanya berdiri tanpa ekspresi saat menerima medali perak dan menyaksikan Palace mengangkat trofi.
Namun, satu momen mengejutkan terjadi ketika Guardiola memasukkan Claudio Echeverri, remaja asal Argentina yang baru didatangkan Januari lalu seharga £12,5 juta. Echeverri, yang bahkan belum pernah tampil di liga, melakoni debut di final Piala FA, menggantikan Omar Marmoush—sebuah keputusan yang mengejutkan karena Grealish dan Gundogan dibiarkan di bangku cadangan.
Meski sempat terpeleset dalam sepuluh detik pertama, Echeverri tampil cukup percaya diri. Ia beberapa kali mencari ruang di belakang bek lawan dan nyaris mencetak gol andai tembakannya tak diblok. Ketika umpannya terlalu tinggi untuk Haaland, Guardiola menutup wajah dengan kedua tangan, menunjukkan keputusasaan.
Nico O’Reilly dan Percakapan Rahasia Pep
Salah satu pilihan tak kontroversial Guardiola adalah menurunkan Nico O’Reilly di posisi bek kiri. Pemain akademi ini tampil luar biasa di putaran-putaran awal Piala FA dan terus dipercaya hingga final.
Sebelum laga dimulai, Pep menarik O’Reilly ke samping untuk memberi instruksi, dan sepanjang pertandingan sang pemain menunjukkan kemampuan beradaptasi dengan ikut maju ke tengah lapangan saat menyerang. Saat waktu hampir habis, Guardiola kembali memanggil O’Reilly, Gvardiol, dan Doku untuk memberikan arahan cepat.
Di saat yang sama, Ruben Dias, De Bruyne, dan Bernardo Silva mengumpulkan diri di tengah lapangan, tampak saling menyemangati untuk satu dorongan terakhir—yang pada akhirnya tak cukup untuk mengubah hasil.
Suporter City Tetap Bernyanyi, Tapi Tak Cukup
Fans Crystal Palace tampil penuh semangat sepanjang pertandingan, menghidupkan suasana Wembley dengan smoke bomb meski telah diperingatkan. Dukungan mereka pun dibayar lunas dengan kemenangan bersejarah.
Sementara fans City, meski timnya tertinggal, tetap mencoba menyemangati dengan nyanyian “Blue Moon” bergema di babak kedua. Tapi malam itu bukan milik mereka. City pulang dengan tangan hampa—dan lebih dari itu, pulang dengan sebuah kenyataan pahit bahwa musim ini tak seindah biasanya.