Bellingham Kembali ke Timnas Inggris, Tuchel Siap Pertaruhkan Karier Demi Satu Nama!

Gilabola.com – Thomas Tuchel membuat keputusan berani dengan memanggil kembali Jude Bellingham ke tim nasional Inggris jelang kualifikasi Piala Dunia, setelah sempat menimbulkan kontroversi karena menepikan sang bintang Real Madrid.

Kini, Tuchel menantang gelandang berusia 22 tahun itu untuk membuktikan dirinya bisa menyatu dalam sistem 4-2-3-1 yang baru disempurnakan. Dengan Inggris tampil impresif tanpa dirinya dalam empat laga terakhir, Bellingham bukan hanya harus membuktikan diri pantas jadi starter, tapi juga menjadi kunci dalam ambisi membawa Inggris meraih bintang kedua di dada.

Tuchel dan Misi Menjinakkan Galactico Inggris

Ketidakhadiran Bellingham di skuad bulan lalu sempat memunculkan spekulasi bahwa Tuchel ingin menegaskan otoritasnya. Namun, alasan sesungguhnya lebih sederhana: Bellingham baru pulih dari cedera bahu dan baru tampil sekali sebelumnya. Kini, dengan tiga gol dan satu assist dalam lima laga terakhir bersama Real Madrid, sang gelandang kembali fit dan tajam.

Tuchel menyambutnya dengan pesan tegas: “Kami sedang membangun sesuatu. Kami senang kalian kembali, tapi kalian harus berkontribusi.” Pesan itu juga ditujukan kepada Phil Foden yang turut kembali ke skuad.

Bellingham, Sang Superstar yang Menolak Puas Diri

Bellingham bukan sekadar pemain top; dia adalah wajah sepak bola Inggris modern. Dengan nilai pasar mencapai sekitar Rp3,2 triliun (menurut CIES), ia berada di urutan keempat pemain paling berharga di dunia setelah Lamine Yamal, Erling Haaland, dan Kylian Mbappé.

Baru berusia 22 tahun 128 hari, ia sudah mencatat 50 penampilan di Liga Champions, menggantikan rekor Iker Casillas sebagai pemain termuda yang mencapai angka tersebut. Bersama tim nasional, ia telah mengoleksi 44 caps dan enam gol—tiga di antaranya tercipta di menit-menit akhir ketika Inggris mengejar hasil.

Ketika banyak pemain sekelasnya mulai berpuas diri, Bellingham justru semakin lapar akan kemenangan. Ia menjadi penyelamat Inggris di Euro 2024 lewat gol salto menit ke-95 ke gawang Slovakia, kemudian berteriak “Siapa lagi?”—sebuah momen yang memperlihatkan ego, tapi juga mental juara.

Dari Birmingham ke Real Madrid: Perjalanan Galactico Inggris

Lahir di Stourbridge, Bellingham sudah tampil di tim utama Birmingham City pada usia 16 tahun. Setahun kemudian, ia menjadi pemain 17 tahun termahal dunia setelah pindah ke Borussia Dortmund dengan nilai transfer sekitar Rp495 miliar.

Kini di Real Madrid, ia telah memenangkan La Liga dan Liga Champions, serta menjadi ikon global. Wajahnya menghiasi kampanye iklan Adidas, Louis Vuitton, dan EA Sports FC 25, di mana ia menjadi cover star termuda sepanjang sejarah gim tersebut.

Popularitas dan karismanya menjadikannya figur “GQ footballer” sejati—gaya, kelas, dan performa elite dalam satu paket.

Api di Dalam Diri: Tantangan Emosi dan Kepemimpinan

Namun, di balik kematangan dan pesonanya, Bellingham memiliki sisi emosional yang bisa jadi pedang bermata dua. Setelah kekalahan dari Senegal pada Juni lalu, ia menendang pendingin air dengan marah hingga kapten Harry Kane harus menenangkannya.

Thomas Tuchel dan stafnya sadar betul akan “api” dalam diri Bellingham. Ibunda Tuchel bahkan pernah menyatakan tidak menyukai sikap sang pemain terhadap wasit, sesuatu yang diakui Tuchel sendiri dengan kata “menjijikkan”—komentar yang sempat membuat hubungan keduanya renggang.

Kini, Tuchel menegaskan bahwa semuanya sudah “berlalu”, namun juga menekankan bahwa energi besar Bellingham harus diarahkan dengan benar agar tidak berujung seperti kasus kartu merah David Beckham (1998) atau Wayne Rooney (2006).

“Dia punya tepi yang membedakan dirinya dari pemain lain. Tugas kami adalah membantu menyalurkannya agar tidak mengintimidasi rekan setim,” ujar Tuchel.

Tuchel dan Taktik: Bellingham Si No.10 Serbabisa

Sejak awal masa jabatannya, Tuchel sudah melihat Bellingham sebagai pemain nomor 10, posisi dengan kompetisi paling ketat di skuad. Di sana, ia harus bersaing dengan Phil Foden, Eberechi Eze, Cole Palmer, dan Morgan Rogers.

Tuchel menginginkan Bellingham menjadi playmaker sekaligus predator—bukan hanya pengatur serangan, tapi juga pencetak gol seperti ketika memanfaatkan bola pantul dari jarak lima meter saat melawan Real Madrid.

Xabi Alonso, pelatih Real Madrid, juga menempatkan Bellingham di posisi serupa, memberinya tanggung jawab besar untuk mencetak gol sekaligus menggerakkan permainan. Tuchel berencana menerapkan hal yang sama di Inggris, mengombinasikan disiplin taktik dengan naluri ofensif alami sang bintang.

Dalam formasi fleksibel 4-2-3-1 atau 4-3-3, Tuchel ingin lini tengah diisi oleh Elliot Anderson sebagai jangkar, Declan Rice sedikit di depan, dan Bellingham sebagai motor utama. Ia dituntut menjadi playmaker, predator, pelindung, sekaligus piston yang menjaga tempo permainan.

Jika disiplin dan fokus, Bellingham bisa jadi senjata terbaik Inggris di Piala Dunia mendatang. Tetapi bila egonya tak terkendali, Inggris bisa kehilangan keseimbangan yang selama ini dibangun Tuchel.

Mental Juara yang Belum Puas

Setelah kekalahan di final Euro 2024 di Berlin, Bellingham ditanya apakah gol spektakulernya melawan Slovakia bisa mengobati rasa kecewa. Dengan ekspresi datar, ia menjawab, “Tidak juga. Saya ke sini untuk menang.”

Jawaban itu menggambarkan ambisi yang sama dengan Tuchel—dua pribadi kuat yang ingin membuktikan bahwa Inggris bukan hanya tim hebat di atas kertas, tapi calon juara dunia sesungguhnya.