Final Liga Champions Bisa Jadi ‘Last Dance’ Bagi Simone Inzaghi di Inter Milan

Gilabola.com – Julukan “Iblis Piacenza” yang melekat pada Simone Inzaghi lahir dari ekspresi dinginnya saat memandang Federico Chiesa beberapa waktu lalu, dan sejak itu menjadi simbol semangat Inter Milan yang sedang memburu mimpi terbesar mereka di panggung sepak bola Eropa.

Inter Milan, klub yang sudah dua kali mencapai final Liga Champions dalam tiga tahun terakhir, kini menghadapi tantangan besar melawan Paris Saint-Germain di Munich.

Bagi para fans Inter, Inzaghi adalah sosok yang membangkitkan mimpi. Namun, di balik ambisi besar itu, nasib sang pelatih justru diselimuti ketidakpastian. Isu tawaran dari Arab Saudi membuat masa depannya menjadi spekulasi hangat sepanjang pekan ini.

Padahal, jika berhasil memenangkan laga final ini, Inzaghi hanya akan menjadi pelatih ketiga dalam sejarah Inter yang mengangkat trofi Liga Champions, menyusul jejak Helenio Herrera dan Jose Mourinho.

Meski begitu, tidak semua pihak menilai Inzaghi dengan bobot yang sepadan. Kapten Lautaro Martinez sempat menyampaikan bahwa pelatihnya tersebut sering kali diremehkan di luar Italia.

Lautaro menuturkan bahwa Inzaghi mampu memahami para pemainnya karena masih berpikir seperti seorang pemain aktif, terlebih karena dia pernah menjadi striker. Hal itu membuat suasana tim menjadi lebih tenang dan positif.

Kesan serupa juga diungkapkan oleh Matteo Darmian yang menyebut Inzaghi sebagai sosok yang hebat, baik sebagai pelatih maupun manusia. Bahkan mantan pemilik Inter, Massimo Moratti, menyatakan bahwa pelatih asal Piacenza itu tahu bagaimana dicintai oleh para pemainnya, serta selalu haus belajar dan berkembang. Sementara Fabio Capello mengaku melihat dirinya dalam sosok Inzaghi.

Dari Chaos Roma ke Stabilitas Milan: Jalan Tak Terduga

Kisah naiknya Simone Inzaghi ke permukaan panggung sepak bola elit Eropa penuh kejutan. Setelah pensiun di Lazio, dia sempat melatih tim muda dan membawa mereka meraih Coppa Italia U-19 setelah penantian 35 tahun.

Awalnya dia hanya ditugaskan sementara setelah Stefano Pioli dipecat, tetapi keadaan berubah drastis ketika Marcelo Bielsa mengundurkan diri hanya 48 jam setelah diumumkan sebagai pelatih Lazio.

Momentum tersebut justru menjadi awal lahirnya sistem 3-5-2 khas Inzaghi yang kini dikenal luas di Eropa. Di Lazio, dia membangun tim yang efektif dan atraktif bersama Milinkovic-Savic, Luis Alberto, dan Immobile. Mereka menjuarai Coppa Italia dan Supercoppa Italia, serta kembali ke Liga Champions setelah absen lebih dari satu dekade.

Ketika Antonio Conte meninggalkan Inter pada 2021, Inzaghi masuk ke situasi yang tidak mudah. Dia kehilangan Lukaku dan Hakimi, serta harus bekerja di bawah tekanan keuangan dan perjanjian dengan UEFA.

Namun, justru di bawah tekanan itu, Inzaghi mampu meracik skuad dengan pemain gratisan seperti Calhanoglu, Onana, Thuram, dan Sommer. Inter tetap kompetitif, bahkan nyaris juara di musim pertamanya, finalis Eropa di musim kedua, juara Serie A di musim ketiga, dan kini kembali ke final Liga Champions.

Kendati kegagalan di liga musim ini menghapus mimpi treble, Cristian Chivu menyebut bahwa menyebut musim Inter sebagai kegagalan adalah hal yang tidak masuk akal. Bagi Chivu, permainan dan hasil Inter tetap luar biasa.

Kini, jika final ini adalah ‘last dance’ bagi Inzaghi, maka itu akan menjadi pementasan yang layak disaksikan. Dia mungkin belum pernah melatih di luar Italia dan belum menguasai bahasa Inggris dengan sempurna, tetapi para pemain yang bekerja bersamanya tahu betul nilai sebenarnya dari sang pelatih. Dunia sepak bola kini hanya perlu memperhatikan lebih dekat.