Gilabola.com – Lautaro Martínez kembali menjadi pembeda. Sepakan dingin sang kapten di babak kedua memastikan Inter Milan meraih kemenangan tipis 1-0 atas Atalanta BC dan kembali merebut puncak klasemen Serie A, Minggu malam waktu setempat, dalam laga yang sarat ketegangan di Bergamo.
Gol itu bukan sekadar penentu tiga poin. Ia terasa seperti pernyataan kebangkitan. Sembilan hari setelah mimpi trofi Inter di Supercoppa Italia runtuh akibat kekalahan dari Bologna, pasukan Cristian Chivu menunjukkan bahwa luka tersebut belum menggerus mental juara mereka.
Jangan lewatkan kebangkitan raksasa Serie A. Baca berita Liga Italia terbaru.
Inter datang menghadapi Atalanta yang tengah menanjak, meraih tiga kemenangan dari empat laga terakhir. Namun sejak menit awal, Nerazzurri perlahan mengambil alih kendali. Permainan memang berjalan lambat, nyaris seperti api dalam sekam, tetapi tekanan Inter terus mengurung tuan rumah. Marco Carnesecchi dipaksa bekerja ekstra, menggagalkan peluang Marcus Thuram dan Lautaro Martínez dalam tempo berdekatan.
Kebuntuan seolah akan pecah di menit ke-35. Thuram menyambar bola dengan sepakan first-time kaki kanan yang indah, bola meluncur dan lolos dari tangkapan Carnesecchi. Stadion terdiam. Namun VAR datang sebagai penyelamat Atalanta—gol itu dianulir karena offside. Nafas tuan rumah tertahan, Inter harus menelan frustrasi.
Ironisnya, Atalanta nyaris tak memberi perlawanan berarti sebelum jeda. Raffaele Palladino menyaksikan timnya tampil terlalu hati-hati, bahkan gagal mencatatkan satu pun tembakan tepat sasaran di babak pertama. Inter boleh tak mencetak gol, tetapi aura dominasi mereka terasa nyata.
Situasi berubah selepas turun minum. Atalanta tampil lebih berani, mencoba keluar dari kepungan. Éderson mendapat peluang emas melalui sundulan hasil umpan Charles De Ketelaere, tetapi bola melambung di atas mistar. Sang winger Belgia bahkan sempat menjebol gawang Inter, hanya untuk kembali terjebak offside.
Dan ketika Atalanta mulai berani bermimpi, petaka datang. Menit ke-65, kesalahan fatal Berat Djimsiti dalam membangun serangan menjadi awal segalanya. Bola jatuh ke kaki Pio Esposito, yang dengan satu sentuhan cerdas mengirim umpan matang. Lautaro tak menyia-nyiakan kesempatan. Dari jarak dekat, ia menghukum Carnesecchi. Dingin. Mematikan.
Gol itu terasa sangat familiar. Itu adalah gol kedelapan Lautaro ke gawang Atalanta sepanjang kariernya. Lebih mencolok lagi, Inter selalu menang dalam empat laga sebelumnya saat sang striker mencetak gol melawan La Dea. Sejarah kembali terulang.
Atalanta mencoba merespons. Tekanan demi tekanan dilepaskan, tetapi Inter tetap rapi. Garis pertahanan mereka kokoh, kontrol tempo terjaga. Bahkan ketika Lazar Samardžić mendapat peluang emas di menit-menit akhir, bola justru melebar—sebuah simbol malam yang kembali tak berpihak pada tuan rumah.
Peluit panjang berbunyi. Inter mengamankan kemenangan liga keempat secara beruntun dan melangkah ke puncak klasemen Serie A sebagai tim yang paling konsisten menjelang 2026. Bagi Atalanta, luka lama kembali terbuka. Mereka kini tanpa kemenangan dalam 16 pertemuan terakhir melawan Inter (D5, L11), sementara laju tiga kemenangan beruntun mereka di semua ajang terhenti mendadak.
Sudut Pandang Gilabola.com
Kemenangan ini menegaskan satu hal: Inter masih hidup dari DNA pragmatis mereka. Tak selalu indah, tak selalu dominan secara skor, tetapi efisien dan kejam di momen krusial. Dalam laga-laga ketat seperti ini, keberadaan sosok seperti Lautaro Martínez adalah kemewahan yang membedakan penantang gelar dengan sekadar pesaing papan atas.
Namun, Inter juga patut waspada. Ketergantungan pada kesalahan lawan dan insting individu Lautaro bisa menjadi bumerang saat menghadapi tim yang lebih disiplin. Jika Chivu ingin menjaga posisi ini hingga akhir musim, variasi serangan dan keberanian mengunci laga lebih awal akan menjadi pekerjaan rumah yang tak bisa dihindari.

