Inilah Alasan Kenapa Inter Milan Babak Belur Lawan Pemain Muda Les Parisiens!

Gilabola.com – Inter Milan dihancurkan PSG 0-5 di final Liga Champions: mimpi para pemain tua yang berakhir dalam kehancuran paling memalukan dalam sejarah Eropa!

Di usia tertentu, ketertarikan terhadap sejarah memang kerap meningkat. Tapi tidak seperti ini. Para pemain veteran Inter Milan mencetak sejarah — sejarah kelam.

Kekalahan 0-5 dari Paris Saint-Germain di final Liga Champions 2025 di Munich kini menjadi kekalahan terbesar sepanjang masa di partai puncak kompetisi Eropa, bahkan melampaui skor-skor ikonik dari tahun 1960, 1974, 1989, dan 1994. Dua kekalahan terburuk AC Milan bahkan terhapus oleh kekalahan Inter ini.

Namun, ini bukan sejarah yang akan dibanggakan. Ini adalah kenangan buruk yang akan terus menghantui. Inter kebobolan tiga gol dari remaja: dua dari Désiré Doué dan satu dari Senny Mayulu, menandai generasi baru yang menyeruak naik—tepat di atas reruntuhan mimpi tua Inter Milan.

Tim Tua yang Benar-Benar Terlihat Tua

Kenyataan bahwa skuad Inter sudah menua bukanlah rahasia. Barcelona, Bayern Munich, Arsenal, bahkan Manchester City pun telah menyadarinya. Tapi hanya PSG yang benar-benar membuat mereka terlihat sangat tua.

PSG bukan sekadar mengalahkan Inter; mereka mempermalukan mereka. Di panggung terbesar Eropa, PSG tampil seperti angin muda yang menyapu bersih sisa-sisa kejayaan masa lalu.

Dalam final yang mempertemukan dua kutub berbeda—juara Eropa era 60-an melawan klub yang baru berdiri tahun 1970; pemain murah melawan para superstar mahal; tua melawan muda, tim yang dibangun untuk masa depan ternyata sudah waktunya sekarang. Sementara tim yang mencoba melawan waktu justru hancur oleh arus serangan tanpa henti dari Paris.

Pertandingan terbesar dalam hidup mereka berubah menjadi mimpi buruk yang memalukan. Di akhir laga, para pemain Inter berdiri terpaku, kepala tertunduk di depan tribun kosong.

Harapan Masa Lalu Kandas oleh Masa Depan

Perjalanan Inter di Liga Champions musim ini sebenarnya penuh konsistensi. Mereka hanya sekali kalah dari 14 laga Eropa musim ini—saat melawan Bayer Leverkusen. Berdasarkan performa grup dan hasil, mereka sempat dijagokan. Tapi PSG yang sedang naik daun benar-benar membungkam semua prediksi.

Sementara Inter menanggung harapan semua orang yang ingin masa keemasan mereka tak hanya tinggal kenangan, mereka justru roboh oleh kenyataan: usia skuad mereka rata-rata 30 tahun 19 hari, lebih dari satu dekade lebih tua dari Doué—pencetak dua gol malam itu—yang bahkan lahir setelah final Liga Champions 2005. Sebuah simbol yang sangat kontras.

PSG menunjukkan keunggulan dalam kecepatan dan energi muda. Inter kalah jumlah di sisi lapangan, kalah tenaga di lini tengah, dan terlalu lambat di lini belakang. Formasi 3-5-2 yang selama ini jadi andalan, malam itu terasa seperti jebakan. PSG menyerang dari segala arah, dengan tempo yang terlalu cepat untuk dikejar.

Strategi Inter Hancur Lebur di Hadapan Kecepatan

PSG mencetak gol cepat—lagi. Mereka mencetak gol dalam 12 menit pertama melawan Liverpool, Aston Villa, Arsenal, dan kini Inter. Tapi kali ini, bukan cuma awalan; PSG mempertahankan tekanan itu selama 90 menit penuh.

Inter hanya tertinggal selama 16 menit sepanjang Liga Champions musim ini. Tapi di final, mereka sudah tertinggal di menit ke-12 dan dua gol di menit ke-20. Jika strategi mereka adalah bertahan dengan pengalaman, semuanya dihancurkan oleh kecepatan PSG, kecerdikan Doué, dan kualitas Dembele.

Vitinha jadi otak dari banyak serangan. Umpan terobosannya membuka ruang untuk gol-gol PSG. Salah satunya menciptakan gol pertama Hakimi—yang ironisnya adalah mantan pemain Inter yang dijual saat klub mengalami krisis keuangan. Empat tahun kemudian, pemain itu kembali menghancurkan mereka di final Eropa.

Simone Inzaghi Tak Berdaya di Pinggir Lapangan

Simone Inzaghi berdiri di pinggir lapangan, tampak seperti karakter sampingan dari serial The Sopranos yang sedang menghadiri pemakaman—mungkin memang tepat, karena malam itu ia menyaksikan kematian dari mimpi besar Inter Milan.

Masuk akal jika pemain pengganti pertama yang diturunkannya adalah pemain muda berusia 23 dan 24 tahun. Tapi bahkan itu pun tak berjalan sesuai harapan—Yann Bisseck justru mengalami cedera hamstring tak lama setelah masuk.

Sementara itu, di sisi PSG, setiap serangan terasa seperti penyiksaan. Hakimi melenggang melewati Dimarco untuk mencetak gol pembuka. Dimarco lalu secara tidak sengaja membelokkan tembakan Doué jadi gol kedua.

Di sisi kiri Inter, Henrikh Mkhitaryan yang berusia 36 tahun (lahir saat Tirai Besi masih berdiri) kesulitan menghentikan pergerakan. Bahkan Francesco Acerbi yang berusia 37 tahun, akhirnya hanya bisa duduk bersimpuh di lapangan setelah Kvaratskhelia mencetak gol keempat.

PSG tak sekadar menang. Mereka meruntuhkan identitas, pengalaman, dan kebanggaan Inter. Sebuah malam yang akan tercatat dalam sejarah—bukan untuk dikenang dengan bangga, tapi dijadikan pelajaran: kecepatan masa kini selalu mengalahkan kejayaan masa lalu.