Inzaghi Bersinar, Arteta Tertekan: Liga Champions Jadi Panggung Perbandingan Dua Pelatih

Gilabola.com – Kekalahan Arsenal dari Paris Saint-Germain dalam leg pertama semifinal Liga Champions menjadi bahan empuk bagi para pengkritik Mikel Arteta.

Meski musim belum selesai dan peluang masih terbuka, narasi “Nearly Manager” (Nyaris Manajer) kembali dilemparkan kepada pelatih asal Spanyol itu, yang belum mempersembahkan trofi dalam empat musim terakhir.

Tekanan ke Arteta dan Mimpi Bernama Inzaghi

Meski baru saja membawa Arsenal ke semifinal Liga Champions untuk pertama kalinya dalam 16 tahun dan berpotensi finis di posisi kedua Premier League untuk ketiga kalinya secara beruntun, Arteta tetap jadi sasaran kritik.

Kemenangan atas Carlo Ancelotti dan Real Madrid di babak sebelumnya seolah dilupakan begitu saja, digantikan oleh narasi bahwa ia “dikalahkan taktik” oleh Luis Enrique.

Sebagian fans bahkan kembali menggulirkan wacana bahwa Simone Inzaghi — pelatih Inter Milan — adalah sosok ideal untuk menggantikan Arteta. Nama Inzaghi pertama kali dikaitkan dengan Arsenal sejak Januari, setelah tim London utara tersingkir dari Carabao Cup dan tertinggal dalam perburuan gelar liga.

Dan ketika Inter unggul 2-0 dalam 21 menit pertama melawan Barcelona, narasi itu semakin menggema.

Inter Taktis, Barcelona Magis, Yamal Luar Biasa

Gol tercepat dalam sejarah semifinal Liga Champions tercipta lewat aksi Marcus Thuram yang menyelesaikan umpan silang Denzel Dumfries dengan flick yang nyaris tak masuk akal — hanya dalam 30 detik. Dumfries kemudian mencetak gol kedua lewat sepakan akrobatik, memanfaatkan kelengahan lini belakang Barcelona.

Namun Lamine Yamal, bocah 17 tahun yang baru memainkan laga ke-100-nya untuk Barcelona, mengubah atmosfer. Dalam satu momen ajaib, ia mencuri bola dekat garis lapangan, menari melewati lima pemain Inter, lalu melepaskan tembakan melengkung yang membentur tiang dan masuk. Gol itu tidak hanya memukau publik, tapi membangkitkan kenangan akan Lionel Messi di masa keemasannya.

Yamal hampir menggandakan golnya dua menit kemudian, mempermalukan Dimarco dan memaksa Sommer melakukan penyelamatan ujung jari untuk menepis bola ke mistar.

Barcelona kemudian menyamakan kedudukan lewat Ferran Torres setelah kombinasi apik Raphinha dan Pedri. Saat itu, Blaugrana tampak akan membalikkan keadaan sepenuhnya — Dani Olmo dan Torres mengancam, Inter berada di bawah tekanan penuh.

Namun babak kedua kembali jadi milik Inter. Mereka mencetak gol ketiga melalui sundulan Dumfries dari sepak pojok dan hampir menambah lewat Mkhitaryan — gol yang dianulir VAR karena offside setipis ujung sepatu. Raphinha membalas lewat tembakan keras yang membentur mistar dan masuk setelah membentur Sommer, membuat skor akhir jadi 3-3.

Inzaghi dan Inter: Bukan Hanya “Tim Underdog”

Inter keluar dari Camp Nou dengan hasil imbang, namun membawa rasa percaya diri tinggi. Tim ini, yang dianggap lebih lemah dari PSG, Arsenal, atau bahkan Barcelona sendiri, kini berada di jalur yang memungkinkan mereka kembali ke final Liga Champions untuk kedua kalinya dalam tiga musim.

Di balik performa mereka ada tangan dingin Inzaghi. Transisi cepat, kesadaran ruang, dan koordinasi antar lini terlihat jelas hasil dari latihan yang matang. Inter memang sering disebut “disiplin”, “well-drilled”, atau “underdog”, tapi sejatinya mereka adalah tim menyerang yang tahu cara bertahan — dan Inzaghi tahu betul kapan harus mengubah ritme.

Sama seperti Lamine Yamal bukan satu-satunya alasan Barcelona menawan, Inzaghi pun bukan satu-satunya kekuatan Inter. Tapi keduanya adalah “tokoh utama” dari cerita tim masing-masing. Dan selama Arsenal belum benar-benar menuntaskan misinya, Inzaghi akan terus dibicarakan sebagai mimpi alternatif di Emirates.