Ketika Malam di Giuseppe Meazza Menjadi Legenda yang Akan Diceritakan Selamanya

Gilabola.com – Malam itu di Giuseppe Meazza, sepak bola kembali menunjukkan wajahnya yang paling dramatis. Stadion penuh, lampu sorot menembus udara yang lembap, dan ribuan pasang mata menatap lapangan dengan napas tertahan.

Inter Milan dan Barcelona, dua nama besar dalam sejarah sepak bola Eropa, saling bertukar tusukan dalam laga semifinal yang lebih menyerupai pertunjukan teatrikal daripada pertandingan biasa.

Segalanya tampak menuju bencana bagi Inter. Setelah unggul 2-0 melalui Lautaro Martinez dan penalti Calhanoglu, mereka dibalas habis-habisan oleh Barcelona. Eric Garcia membuka jalan, lalu Dani Olmo menyamakan skor.

Ketika Raphinha menyambar bola muntah dari Sommer dan mengubah skor menjadi 3-2 bagi tim tamu, publik Giuseppe Meazza seperti kehilangan suara. Skor agregat menunjukkan 6-5 untuk Barcelona. Dua menit waktu tambahan tersisa, dan seakan waktu mengejek Inter, berjalan lambat namun penuh tekanan.

Lalu datang momen yang tidak ada dalam naskah. Francesco Acerbi, seorang bek berusia 37 tahun, berlari naik ke depan. Dia menyambut sebuah umpan dan menghantam bola ke atap gawang dengan kekuatan yang melampaui logika. Gol penyama agregat itu membuatnya berlari liar tanpa baju, dikejar rekan setimnya, dikelilingi oleh sorak-sorai yang memecah langit malam Milan.

Frattesi, Si Super Sub yang Tak Mau Diam

Drama belum usai. Memasuki perpanjangan waktu, Inter tidak berhenti percaya. Davide Frattesi, yang baru masuk dari bangku cadangan, menyambut bola di sisi kiri, mengiris ke tengah, dan melepaskan tembakan kaki kiri melengkung ke pojok bawah gawang.

Sontak saja, Giuseppe Meazza kembali meledak. Gelandang itu kemudian memanjat pagar pembatas untuk merayakan gol bersama tifosi yang sejak awal malam tak pernah berhenti bernyanyi.

Namun bahkan setelah gol itu, Inter belum bisa bernapas lega. Lamine Yamal, bocah 18 tahun yang menjadi ancaman konstan, dua kali mendapat peluang emas. Tapi malam itu adalah malam milik Yann Sommer.

Kiper Inter itu membuktikan bahwa selain kaki dan tangan, keberanian juga bagian dari teknik menyelamatkan gawang. Dia menggagalkan peluang demi peluang, termasuk satu penyelamatan satu tangan yang menjaga keunggulan timnya.

Barcelona mencoba, mencari celah, menyerbu dari segala arah. Lewandowski menyundul bola terlalu tinggi. Yamal mencoba menusuk kembali, tapi kali ini ia tidak menemukan celah.

Sementara itu, para pemain Inter mulai menoleh ke papan skor, ke jam digital, dan ke wasit. Ketika peluit panjang berbunyi, mereka pun tahu: malam itu mereka tak hanya menang, mereka telah menciptakan sejarah.

Dalam dua leg, 13 gol tercipta. Skor agregat 7-6 mengingatkan kembali pada drama Liverpool-Roma beberapa musim lalu. Tapi kali ini, stadion Giuseppe Meazza yang menjadi saksi.

Tifosi membuka laga dengan koreografi luar biasa, dan menutup malam dengan air mata dan pelukan. Simone Inzaghi, pria yang dua tahun lalu hanya bisa menatap City mengangkat trofi, kini kembali memimpin anak asuhnya ke partai puncak.

Di seberang sana, Barcelona harus kembali menunda ambisinya. Laga El Clasico akhir pekan nanti bisa jadi pelipur, tapi malam semifinal ini akan terus menghantui. Sepak bola memang seperti itu, da tak selalu adil, tapi selalu jujur pada drama.