Kisah Kebangkitan PSG, dari Dilumat MU dan NU, Kini Jadi Juara Baru Liga Champions!

Gilabola.comPSG memulai perjalanan musim ini di panggung sepak bola Eropa dengan jejak memalukan, seperti ketika dibantai Newcastle United dengan skor 1-4 di St James’ Park.

Kala itu, hampir tidak ada satu pun dari pemain, staf, atau pendukung yang bisa menikmati tontonan yang menghadirkan nama-nama seperti Miguel Almiron, Dan Burn, Sean Longstaff, dan Fabian Schar sebagai pencetak gol.

Kegagalan semacam itu menambah daftar panjang momen kelam PSG di Liga Champions, dari kegagalan di kandang sendiri melawan Manchester United hingga dilumat Karim Benzema di Bernabeu.

Nasser Al-Khelaifi, presiden klub, sempat menyatakan bahwa Liga Champions bukan lagi sebuah obsesi bagi mereka. Dia menyebut bahwa sejak awal musim, bersama Luis Enrique, PSG sedang membangun identitas baru, gaya bermain ofensif, dan budaya yang memungkinkan pemain serta staf untuk menikmati permainan sepak bola.

Namun, banyak pihak menilai bahwa pernyataan itu terasa prematur, apalagi ketika PSG sempat terlihat rapuh di awal kompetisi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tim ini menunjukkan sesuatu yang berbeda.

Enrique, dalam perkenalannya sebagai pelatih, menekankan bahwa identitas menyerang adalah hal yang tak bisa ditawar. Dia merasa tugasnya adalah memaksimalkan potensi para pemain, baik secara individu maupun kolektif.

Final yang Dikuasai oleh Generasi Baru PSG

Ketika tiba di partai final melawan Inter Milan, PSG menurunkan skuad termuda dalam sejarah final Liga Champions abad ini. Dua dari lima pencetak gol termuda sepanjang masa di final Eropa muncul dari tim ini.

Desire Doue yang berusia 19 tahun tampil luar biasa dan terpilih sebagai man of the match. Dari 16 pemain yang tampil untuk PSG malam itu, hanya Marquinhos yang berusia di atas 30 tahun.

Sebaliknya, Inter Milan terlihat seperti tim yang sudah mendekati akhir sebuah siklus. Tiga pemain starter mereka berusia 36 tahun atau lebih, dan sisanya dibuat tampak dua kali lebih tua oleh kecepatan dan semangat dari para pemain muda PSG.

Federico Dimarco menjadi figur tragis di babak pertama. Dia terperangkap offside dalam sebuah jebakan yang dia buat sendiri, lalu gagal menghentikan gerakan Doue yang membuka keunggulan cepat PSG.

Setelah itu, pertandingan lebih menyerupai latihan skenario serangan PSG. Willian Pacho bahkan sempat merebut bola dari Nicolo Barella dalam situasi yang tampak sepele dan memulai serangan balik yang menghasilkan gol kedua.

Inter mencoba melakukan perubahan dengan mengganti empat pemain di menit ke-60. Namun masuknya Matteo Darmian tidak membawa perubahan signifikan.

PSG justru semakin menggila lewat kombinasi umpan-umpan yang tajam: dari Vitinha ke Doue, lalu Dembele ke Kvaratskhelia, dan akhirnya Barcola ke Mayulu. Bola seperti mengalir tanpa perlawanan berarti.

Satu-satunya pemain PSG yang malam itu tampak tidak menikmati momen bersejarah itu adalah Kylian Mbappe. Sang bintang yang memilih hengkang ke Real Madrid terlihat seperti sosok asing di narasi kemenangan ini.

Dia sempat mencetak gol saat PSG dihancurkan Newcastle, namun kini harus menyaksikan tim lamanya meraih trofi yang selama ini dikejarnya dari kejauhan.

Luis Enrique yang sebelumnya dianggap pelatih underrated akhirnya mencatatkan sejarah yang tidak mampu diraih pelatih-pelatih mahal sebelum dirinya.

Dan sebagai hadiah, PSG akan tampil di Piala Super Eropa menghadapi Tottenham Hotspur—pertarungan yang dianggap oleh banyak pihak sebagai pertemuan dua tim “terhebat” Eropa dalam konteks yang sama-sama tak terduga.