Gilabola.com – Berikan hormat untuk tim berjuluk Bafana Bafana, dan tentu saja untuk sang pelatih, Hugo Broos. Setelah 23 tahun penantian, tim nasional Afrika Selatan akhirnya kembali lolos ke Piala Dunia—kali ini bukan sebagai tuan rumah, melainkan lewat perjuangan nyata di lapangan.
Perjalanan Penuh Rintangan Sejak Awal
Saat pelatih berusia 72 tahun asal Belgia ini menerima jabatan sebagai pelatih timnas Afrika Selatan pada Mei 2021, banyak yang meragukan langkah tersebut.
Ya, sebelumnya Broos pernah menjuarai Piala Afrika 2017 bersama Kamerun dengan skuad muda yang ditinggalkan para bintang besar. Itulah yang diinginkan South African Football Association (Safa): membangun ulang tim nasional yang sudah terlalu lama tidak berprestasi.
Tim Nasional Afrika Selatan saat itu sedang terpuruk. Setelah pandemi Covid-19, mereka gagal lolos ke tujuh dari delapan edisi Piala Afrika, termasuk edisi 2021. Meskipun sempat ada harapan kecil ketika mereka menembus perempat final Piala Afrika 2019, semua itu tak lebih dari secercah cahaya yang cepat padam.
Namun Broos mengubah segalanya. Empat tahun kemudian, tepatnya pada Selasa lalu, kemenangan 2-1 atas Rwanda menjadi puncak dari transformasi besar ini. Untuk pertama kalinya sejak 2002, skuat Bafana Bafana kembali lolos ke Piala Dunia tanpa menjadi tuan rumah.
Pelatih yang Datang dengan Keraguan
Kedatangan Broos sebenarnya tidak disambut dengan tangan terbuka. Karakternya yang tegas sempat dipertanyakan, apalagi muncul kabar bahwa ia pernah berselisih dengan pemain senior saat melatih Kamerun. Ia juga pernah membuat keputusan berani dengan menyisihkan pemain kreatif terbaik timnas Afrika Selatan, Themba Zwane, hanya karena faktor usia.
Namun, reputasinya sebagai mantan bek top Belgia era 1970–1980-an dan pelatih juara bersama Club Brugge berbicara lebih lantang daripada keraguan. Kini, Broos kembali ke panggung besar Piala Dunia—tempat ia pernah bermain sebagai semifinalis Piala Dunia 1986 di Meksiko.
Para pemain jelas mencintai pelatihnya. Gaya kepemimpinannya yang menghormati para pemain membuat tim ini benar-benar bermain untuk lambang di dada, sesuatu yang tak terlihat sejak akhir 1990-an.
Kebangkitan dari Generasi Muda
Sejak awal, Broos menekankan kebijakan regenerasi. Meski gagal tipis dalam kualifikasi Piala Dunia 2022 akibat selisih gol dan penalti kontroversial saat melawan Ghana, Afrika Selatan terus berkembang. Rangkaian laga tak terkalahkan membentuk mental juara tim ini, dengan tulang punggung skuad berasal dari Mamelodi Sundowns.
Hasilnya, mereka finis ketiga di Piala Afrika 2023 di Pantai Gading, penampilan terbaik dalam 24 tahun. Afrika Selatan menyingkirkan semifinalis Piala Dunia 2022, Maroko, di babak 16 besar, sebelum kalah lewat adu penalti dari Nigeria di semifinal. Setelah itu, mereka terus melaju dalam kualifikasi Piala Afrika 2025 dan Piala Dunia 2026.
Namun tiket ke Piala Dunia 2026 bukan datang dengan mudah. Mereka harus berharap Nigeria menang 4-0 atas Benin untuk membuka jalan, setelah tiga poin mereka dikurangi akibat memainkan Teboho Mokoena yang sedang diskors dalam laga melawan Lesotho Maret lalu. Bahkan FIFA memberikan kemenangan 3-0 kepada Lesotho, membuat prestasi Afrika Selatan kali ini terasa makin berharga.
Fondasi Kuat dari Generasi Baru
Kesuksesan Broos juga didukung peningkatan nyata dalam pembinaan usia muda di klub-klub Premier Soccer League (South Africa). Program pengembangan pemain lewat kompetisi DStv Diski Challenge U-23 mulai menunjukkan hasil.
Bahkan tim U-17 Afrika Selatan berhasil lolos ke Piala Dunia tahun ini, sementara Amajita (tim U-20) menjadi juara U-20 Africa Cup of Nations untuk pertama kalinya, sekaligus menjadi tim kedua dalam sejarah negara itu yang mencapai babak 16 besar Piala Dunia U-20. Ini bukan sekadar keberuntungan—ini adalah bukti perubahan nyata.
Akhir yang Mulai Tampak Indah
Masa depan skuat Bafana Bafana kini kembali cerah. Kebangkitan di bawah Broos bukan lagi mimpi. Klimaksnya mungkin akan tiba pada Piala Afrika di Maroko pada Desember–Januari mendatang, dan tentu saja penampilan mereka di Piala Dunia 2026 di Meksiko, Kanada, dan Amerika Serikat.
Jika semua berjalan lancar, sang pelatih yang dijuluki “Hugo Boss” dan “Rick Flair” oleh para fans mungkin akan menutup kariernya dengan kepala tegak. Untuk saat ini, satu hal pasti—ia pantas mendapat tepuk tangan.