Gilabola.com – Setelah empat belas tahun memimpin Liverpool Football Club sejak 2010, Fenway Sports Group (FSG) telah membawa klub ini melalui berbagai perubahan besar.
Sejak diakuisisi dengan harga Rp 6 Trilyun, Liverpool telah tumbuh menjadi salah satu klub paling bernilai di dunia, dengan perkiraan nilai saat ini mencapai Rp 87 Trilyun menurut Forbes.
Perubahan besar ini tidak hanya terjadi di lapangan, tetapi juga dalam struktur manajemen klub, mencerminkan visi jangka panjang FSG untuk masa depan Liverpool yang tumbuh dengan sangat baik.
Awalnya, Liverpool berada dalam kondisi keuangan yang sulit di bawah kepemilikan Tom Hicks dan George Gillett. FSG, yang sebelumnya dikenal sebagai New England Sports Ventures, datang menyelamatkan klub dari ancaman kebangkrutan.
Kepemilikan baru ini bekerja keras untuk membangun kembali klub, termasuk merekrut pelatih top seperti Jurgen Klopp yang menjadi kunci kesuksesan Liverpool di beberapa tahun terakhir.
Keputusan Penjualan Klub
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, FSG mulai mempertimbangkan langkah strategis untuk keluar dari kepemilikan penuh Liverpool. Pada musim gugur 2022, FSG secara terbuka mengeksplorasi kemungkinan penjualan klub dengan bekerja sama dengan dua bank besar AS, Goldman Sachs dan Morgan Stanley, untuk menemukan investor potensial.
Pernyataan resmi FSG menyebutkan bahwa mereka terbuka untuk penjualan sebagian saham jika itu demi kepentingan terbaik klub.
Meskipun rumor penjualan ini menarik minat dari berbagai pihak, termasuk calon investor dari India, Arab Saudi, dan Qatar, hingga saat ini FSG tetap memegang kendali penuh atas Liverpool.
Selama proses tersebut, FSG juga melanjutkan proyek besar mereka, termasuk perluasan Anfield Road senilai Rp 1,6 Trilyun, yang menunjukkan komitmen mereka untuk mengembangkan infrastruktur klub.
Perubahan di dalam manajemen juga terjadi ketika direktur olahraga Julian Ward dan kepala penelitian Ian Graham memutuskan untuk meninggalkan klub. Namun, FSG berhasil menjaga stabilitas dengan mendatangkan figur-figur kunci seperti Michael Edwards, yang menjabat sebagai CEO sepak bola, serta Pedro Marques dan Hans Leitert. Ini menunjukkan bahwa FSG telah merencanakan masa depan Liverpool dengan matang.
FSG juga berhasil mengamankan investasi dari Dynasty Equity pada September tahun lalu, dengan nilai sekitar Rp 3 Trilyun. Meskipun investasi ini digambarkan sebagai pasif, FSG menyatakan komitmen jangka panjang mereka terhadap Liverpool tetap kuat. Investasi ini menunjukkan bahwa FSG terus berusaha memperkuat fondasi finansial klub tanpa merubah operasional utama.
Di tengah upaya FSG untuk menjaga stabilitas dan kesuksesan klub, mereka harus berhadapan dengan tantangan dari rival mereka. Kepemilikan Newcastle United oleh pemerintah Arab Saudi dan investasi besar Chelsea di bawah Todd Boehly menyoroti perubahan besar di Premier League.
Namun, model bisnis berkelanjutan FSG, yang tidak terlibat dalam pengeluaran besar-besaran, tetap dianggap sebagai pendekatan yang lebih sehat untuk jangka panjang.
Meskipun demikian, tidak semua langkah FSG berjalan mulus. Pada awal pandemi COVID-19, mereka sempat mendapat kritik karena rencana merumahkan beberapa staf berpenghasilan rendah. Begitu pula dengan upaya mereka mematenkan nama “Liverpool,” yang akhirnya dibatalkan setelah mendapat protes keras.
Namun, salah satu kontroversi terbesar yang melibatkan FSG adalah keterlibatan mereka dalam Liga Super Eropa yang gagal, yang memaksa John W Henry untuk meminta maaf secara publik.
Meski menghadapi berbagai tantangan, FSG berhasil membawa Liverpool ke era baru yang penuh harapan. Dengan perubahan manajemen, investasi baru, dan visi jangka panjang yang jelas, masa depan Liverpool tampaknya tetap cerah di bawah kendali FSG, meski tidak selalu tanpa kritik.
Yuk join Channel Whatsapp Gilabola.com untuk mendapatkan berita-berita sepak bola terbaru dari Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, Liga Jerman, Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions. Klik di sini untuk bergabung!