
Gilabola.com – Bahkan ketika Manchester United tidak bermain, mereka tetap saja kalah. Kebangkitan mantan pemain mereka di berbagai klub Eropa menjadi cermin betapa kacaunya situasi di Old Trafford saat ini.
Hojlund, Rashford, dan Antony: Bersinar Setelah Pergi
Rasmus Hojlund, yang musim lalu hanya mencetak empat gol dari 23 pertandingan Premier League, kini telah mencetak tiga gol hanya dalam lima laga bersama Napoli. Dua di antaranya bahkan tercipta di ajang Liga Champions minggu ini, dan menariknya, Kevin De Bruyne sampai membandingkannya dengan mantan rekan setimnya di Manchester City, Erling Haaland.
Para pengamat lama sepak bola bahkan menyamakan gaya bermain Hojlund saat melawan Sporting CP dengan legenda Inggris Nat Lofthouse — berlari cepat menyambut umpan indah dari De Bruyne, lalu menanduk dengan penuh keberanian untuk mencetak gol kedua. Semua itu memperkuat anggapan bahwa kegagalannya di United bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan minimnya dukungan dan pelayanan dari rekan setim.
Sementara itu, Marcus Rashford juga menemukan kembali performanya bersama Barcelona. Dua gol di Liga Champions melawan Newcastle menunjukkan kelas lamanya, dan assist cantiknya kontra Paris Saint-Germain seharusnya berbuah lebih dari sekadar kekalahan di menit akhir.
Satu-satunya noda hanyalah ketika Hansi Flick memutuskan untuk mencoretnya dari latihan karena datang terlambat. Selain itu, Rashford kini tampil dengan kepercayaan diri dan gaya menyerang khas yang dulu membuatnya ditakuti di Premier League.
Bahkan Antony, yang dulu dianggap pembelian gagal di Old Trafford, kini tampil menentukan untuk Real Betis. Gol penyama kedudukan di menit akhir melawan Nottingham Forest di Liga Europa menjadi bukti bahwa ia kembali menikmati sepak bola. “Uang memang penting,” katanya, “tapi kebahagiaan jauh lebih berharga.”
Kebangkitan ketiga pemain ini memperlihatkan bahwa yang rusak bukan mereka, melainkan sistem di Manchester United itu sendiri. Alih-alih membangun ulang budaya klub, apa yang disebut “cultural reset” justru melahirkan racun baru.
Tekanan untuk Amorim Semakin Besar
Laga kandang United berikutnya melawan Sunderland tiba-tiba terasa lebih penting dari seharusnya. Manajemen yang terus kacau membuat tekanan terhadap pelatih Ruben Amorim semakin berat, meski Sir Jim Ratcliffe tampaknya masih memilih bersabar. “Ratcliffe percaya Amorim layak mendapat satu musim penuh,” begitu kabarnya.
Namun sulit membayangkan apa yang bisa berubah setelah 32 laga berikutnya, jika dari 33 pertandingan sebelumnya tidak ada kemajuan berarti. Pola kegagalan musim lalu kini terulang lagi: kalah lebih sering daripada menang, kebobolan lebih banyak daripada mencetak gol, dan hanya mampu meraih rata-rata satu poin per laga. Luka dari kekalahan memalukan melawan tim kasta keempat, Grimsby, pun masih belum hilang.
Padahal lini depan sudah diperkuat pemain baru seperti Benjamin Sesko dan beberapa pemain Premier League berpengalaman. Tapi masalah mendasar tetap sama — tak ada gelandang bertahan yang tangguh, kiper yang benar-benar bisa diandalkan, dan pelatih yang terlihat semakin kebingungan.
“Cultural Reset” Ratcliffe Dipertanyakan
Ketika Sir Jim Ratcliffe mengambil alih klub pada malam Natal 2023, ia menyebut budaya lama United sebagai akar masalah. Ia merombak hierarki manajemen, memecat para eksekutif era Glazer, mengumumkan proyek renovasi fasilitas latihan senilai sekitar Rp1 triliun (£50 juta), dan memangkas lebih dari 400 posisi kerja.
Secara kasat mata, itu tampak seperti perubahan besar. Tapi budaya sejatinya bukan hanya soal struktur, melainkan orang-orang yang menjalankannya.
Ratcliffe memang bergerak cepat membongkar sistem lama yang dianggap gagal, tetapi langkah cepat itu justru menimbulkan ketidakstabilan baru. Keyakinannya terhadap Amorim kini tampak semakin sulit dijelaskan. “Ia memang cepat membersihkan kekacauan lama, tapi malah menciptakan kekacauan baru.”
Amorim mungkin paham kelemahan timnya, tapi memahami masalah tidak sama dengan memperbaikinya. Gestur frustrasinya di pinggir lapangan kini seperti simbol kepemimpinannya — sering terlihat duduk terpaku dengan wajah muram, lebih menyerupai sosok yang tenggelam dalam tekanan daripada pemimpin yang membawa solusi.
Masalah yang Lebih Dalam dari Sekadar Pemain
Melihat Hojlund, Rashford, dan Antony bersinar di luar negeri menegaskan bahwa masalah Manchester United bukan pada kualitas individu, tapi pada lingkungan internal yang beracun.
Para pemain itu kini berkembang karena merasa dihargai, mendapat dukungan, dan memiliki peran yang jelas dalam taktik tim. Sebaliknya, United terlihat berjalan di tempat, tanpa arah, dan belum menemukan jalan keluar dari krisis yang sudah terlalu lama.
Dari kacamata suporter, kisah ini terasa menyakitkan sekaligus familiar. Mereka sudah lama menyadari bahwa kerusakan klub bukan soal siapa yang bermain, tetapi siapa yang menjalankan tim.
Kesabaran Ratcliffe terhadap Amorim mulai dianggap berlebihan. Fans bosan dengan janji perbaikan budaya dan restrukturisasi, sementara hasil di lapangan tetap suram.
Pertandingan melawan Sunderland kini bukan lagi sekadar laga rutin, melainkan ujian bagi masa depan Amorim — dan mungkin juga bagi arah baru klub. Sampai ada bukti nyata bahwa Manchester United benar-benar bangkit, melihat mantan bintang mereka bersinar di tempat lain akan terus menjadi ironi paling pahit di dunia sepak bola.