Gilabola.com – Liverpool dikenal sebagai klub yang dibangun atas dasar dinasti, warisan dari era Bill Shankly, Bob Paisley, Joe Fagan hingga Kenny Dalglish. Bahkan, dalam struktur saham mereka kini terdapat perusahaan bernama Dynasty Equity. Namun, mungkinkah di era Fenway Sports Group (FSG) hal itu bisa terulang?
Dinasti di Era Modern dan Tantangan Pasar Premier League
Jika melihat ke liga-liga lain di Eropa, sejumlah klub seperti Paris Saint-Germain, Juventus, Bayern Munchen, dan Barcelona sukses membangun dominasi domestik selama bertahun-tahun. Real Madrid bahkan nyaris memonopoli Liga Champions. Tapi Premier League adalah dunia yang berbeda, lebih brutal dan kompetitif.
Kini, dominasi Manchester City tampaknya mulai berkurang, digantikan oleh persaingan yang semakin terbuka. “Big Six” telah berevolusi menjadi “Big Eight”, dengan Newcastle United dan Aston Villa agresif memburu kejayaan meski harus merugi besar. Lalu ada Chelsea, yang tidak segan menggelontorkan dana besar demi membangun ulang skuadnya.
Di sisi lain, klub-klub seperti Nottingham Forest, Brighton, dan Brentford meski tak punya kekuatan dana besar, justru sukses lewat kecerdasan rekrutmen dan strategi. Mereka memaksa klub-klub top seperti Liverpool untuk tetap tajam dan kompetitif.
Namun, dengan biaya transfer yang kini banyak dibayar secara cicilan dan inflasi gaji pemain yang tak terkendali, banyak ahli keuangan sepak bola mulai khawatir bahwa sepak bola sedang menuju fase “kegagalan” setelah siklus “gorengan” yang panjang.
Finansial Model Ngirit FSG: Kelebihan atau Penghalang Sukses?
FSG dikenal sebagai pemilik yang berhati-hati dalam mengambil risiko. Selama 15 tahun mengelola Liverpool, mereka hampir tidak pernah menyuntikkan dana pribadi ke klub.
Liverpool beroperasi secara swadaya, dengan pengeluaran yang sejalan dengan pendapatan. Gaji pemain tetap pada rasio 60–65 persen dari pemasukan selama lima tahun terakhir.
Meski begitu, Liverpool berhasil meraih banyak gelar: dua gelar Premier League, satu Liga Champions, satu Piala Dunia Antarklub, dua Piala FA, dan tiga Piala Liga. Semua itu dengan anggaran yang relatif ketat dan rekrutmen pemain yang efisien.
Namun, fokus FSG tetap pada pertumbuhan finansial dan nilai bisnis jangka panjang, bukan semata-mata trofi. Ini membuat sebagian fans Liverpool, serta penggemar klub lain di bawah naungan FSG seperti Boston Red Sox dan Pittsburgh Penguins, kecewa karena mereka merasa ambisi olahraga dikorbankan demi keuntungan.
Tapi yang dimiliki Liverpool dan dimaksimalkan oleh FSG adalah kekuatan brand global. Klub ini telah menjadi “mesin pencetak uang” yang terus tumbuh.
Strategi Komersial Ben Latty: Kunci Liverpool Menuju Sukses Berkelanjutan
Musim 2023/24 menjadi bukti kekuatan finansial Liverpool. Meski absen dari Liga Champions, pendapatan komersial klub terus meningkat, dari £272 juta menjadi £308 juta (Rp6,9 triliun). Padahal saat FSG mengakuisisi Liverpool pada 2010, pendapatan komersial hanya £62 juta (Rp1,6 triliun). Dalam rata-rata tahunan, pendapatan ini tumbuh 17,6 persen di bawah kendali FSG.
Jika tren ini berlanjut, musim ini Liverpool bisa mencetak pendapatan komersial senilai £362 juta (sekitar Rp7,3 triliun)—sebuah angka yang sangat mungkin tercapai, mengingat bonus sponsor dan penjualan merchandise usai gelar juara liga ke-20 mereka.
Kontrak Baru dengan Adidas: Tambahan Uang dan Kekuatan Branding
Musim depan, kerja sama baru dengan Adidas dimulai. Nilainya diperkirakan mencapai £60 juta per musim, bahkan bisa naik hingga £90 juta tergantung hasil penjualan dan klausul kontrak.
Kieran Maguire, dosen keuangan sepak bola Universitas Liverpool, menyatakan kepada TBR Football bahwa Liverpool sangat cermat dalam menilai nilai komersial mereka.
“Adidas ingin mengikat para ‘A-lister’ seperti Liverpool untuk jangka panjang. Jika kita bicara lagi dalam 10 tahun, mungkin kesepakatan ini akan dianggap fantastis untuk kedua belah pihak,” ujar Maguire.
Liverpool punya keunggulan dalam branding: logo, sejarah, dan daya tarik global. Komersialisasi seperti momen selebrasi selfie Mohamed Salah dengan kamera Google Pixel melawan Tottenham jadi contoh bagaimana Liverpool menyulap momen lapangan menjadi aset pemasaran bernilai tinggi.
Ben Latty, Chief Commercial Officer Liverpool yang ditunjuk tahun lalu, mengatakan kepada Financial Times bahwa pemasukan komersial sangat vital untuk “mendanai perburuan trofi secara berkelanjutan”.
“Kami sudah melihat ke depan dan memikirkan bagaimana memaksimalkan kesuksesan ini untuk mendukung pertumbuhan komersial dan keberhasilan tim di lapangan,” ujarnya.
Bonus Juara Premier League dan Peluang Komersial Baru
Liverpool kabarnya menerima lebih dari £4 juta bonus dari dua sponsor utama mereka—Nike dan Standard Chartered—setelah menjuarai Premier League. Meski jumlah itu tak signifikan dibanding total pendapatan, efek jangka panjangnya bisa sangat besar.
Gelar juara memberi Liverpool daya tawar lebih tinggi dalam negosiasi sponsor berikutnya. Klub-klub besar bisa menjual asosiasi merek mereka dengan trofi Premier League—hal yang sangat dicari perusahaan besar.