Gila Bola – Ajax Amsterdam, tidak diragukan lagi, merupakan klub yang dikenal sebagai yang terbesar di Liga Belanda. Dalam sejarahnya, mereka tidak hanya mendominasi di liga domestik, tapi juga punya prestasi di kancah Eropa.
Di liga domestik, Ajax Amsterdam adalah pemegang gelar liga terbanyak dengan 36 kali juara, itu belum termasuk 20 gelar Piala Belanda (Piala KNVB) dan sembilan Piala Super Belanda (Piala Johan Cruijff).
Ajax juga sangat berprestasi di Eropa dengan empat gelar Piala/Liga Champions, tiga Piala Super Eropa, satu Piala UEFA, satu Piala Winners, satu Piala Intertoto, dan dua Piala Interkontinental.
Namun selain dikenal sebagai raja Belanda, Ajax Amsterdam juga dikenal sebagai pabrik pemain muda berbakat atau sekolahnya para bakat muda hebat yang kemudian jadi produsen pemain top yang diincar dan dibeli oleh berbagai klub.
Sayangnya bahwa sekarang klub tersukses Belanda ini sekarang menghadapi kehancuran dengan mereka kini berada di urutan ketiga terbawah klasemen Eredivisie dengan hanya satu kemenangan dari enam pertandingan.
Kekalahan 1-2 dari AZ di kandang sendiri memberi mereka kekalahan ketiga dari enam pertandingan dengan hanya lima poin untuk duduk di zona play-off degradasi, sebuah posisi yang tak lazim bagi tim sekelas Ajax Amsterdam?
Lantas, apa yang terjadi? Tampaknya bahwa kebijakan regenerasi skuad yang buruk menjadi penyebabnya. Manajemen klub mudah tergiur untuk bisnis dan meraup keuntungan dengan penjualan pemain yang membuat prestasi klub terabaikan, terutama dengan investasi kembali ke skuad yang buruk.
Sejak pencapaian luar biasa pada 2019 ketika hampir mencapai final Liga Champions 2018/2019, misalnya, mereka selalu melepas para pemain terbaik mereka di setiap jendela transfer.
Pada musim 2019/2020 mereka menjual Frenkie de Jong dan Matthijs de Ligt, pada 2020/2021 mereka menjual para pemain seperti Hakim Ziyech, Donny van de Beek, dan Sergiño Dest, sementara pada 2021/2022 mereka kehilangan David Neres.
Puncaknya pada 2022/2023 mereka kehilangan manajer Erik ten Hag serta Antony dan Lisandro Martinez ke Manchester United, selain beberapa pemain top lain juga pergi seperti Sébastien Haller dan Ryan Gravenberch.
Kemudian pada musim panas tahun ini mereka melepas beberapa pilar lainnya yang tersisa seperti Mohammed Kudus, Jurrien Timber, dan Edson Álvarez, yang semua pindah ke Premier League.
Tak heran bahwa di awal musim ini, Dusan Tadic yang sudah mencium degradasi pada kualitas skuad di Amsterdam Arena dan menurunnya ambisi mereka sebagai klub terbesar Belanda membuat sang kapten itu mengajukan undur diri dari klub.
Kekecewaan bintang Serbia berusia 34 tahun itu terbukti. Ajax Amsterdam yang gagal menyeimbangkan kepergian pemain kunci dengan investasi sebagai pengganti dalam skuad membuat klub terancam gagal total di musim ini.
Di pihak manajemen juga klub telah mengalami perubahan besar di mana selain manajer Erik ten Hag yang pergi, Edwin Van Der Sar juga mundur dari posisi Kepala Eksekutif dan Marc Overmars mengundurkan diri sebagai Direktur Olahraga.
Terutama sejak tahun 2021 lalu, perekrutan pemain yang dilakukan Ajax memang kurang bagus. Tahun itu mereka hanya menghabiskan Rp 322 Milyar untuk membeli tiga pemain yang tidak memenuhi standar mereka.
Pada 2022, mereka mendapatkan hampir Rp 4 Trilyun dari penjualan dan sekitar setengahnya diinvestasikan kembali ke dalam skuad. Tapi kualitas investasi mereka juga dipertanyakan dengan pembelian termahal mereka, Steven Bergwijn, bahkan hanya pemain cadangan di Spurs.
Pada 2023 ini, mereka mendapatkan sekitar Rp 2,7 Trilyun dari penjualan dan Rp 1,9 Trilyun diinvestasikan pada pemain baru, namun kualitas pemain yang masuk sekali lagi tidak mampu menutup mereka yang menuju pintu keluar.
Ajax sekarang babak belur sejak ditinggal Erik ten Hag dan banyak pemain pilar mereka dalam beberapa jendela transfer terakhir, dengan manajer Alfred Schreuder bahkan sudah dipecat sejak awal tahun ini. Namun Maurice Steijn juga gagal meningkatkan skuad yang sekarang malah terpuruk di papan bawah klasemen.
Klub ini telah menjual beberapa pemain terbaik mereka dalam beberapa jendela transfer terakhir tanpa menggantikannya dengan pemain berkualitas yang sebanding. Ini telah mengakibatkan penurunan kualitas skuad dan ketidakstabilan manajerial, yang menyebabkan klub tersebut merosot di klasemen dan mengalami krisis identitas.
Hancurnya klub sepak bola bersejarah ini harus menjadi pelajaran besar bagi Ajax tentang bagaimana mempertahankan keseimbangan antara prestasi dan bisnis, dengan mereka sekarang harus mencari cara untuk bangkit dari kemunduran ini dan kembali menjadi kekuatan dominan yang mereka kenal.