Inter Milan Sungkan Sama Lawan, Bisa Habis Kalau Lawannya Blaugrana!

Gilabola.com – Kabar baik untuk Inter Milan adalah mereka menunjukkan keberanian dan determinasi saat menahan imbang Bayern Munich 2-2 di San Siro untuk memastikan tempat di semifinal Liga Champions dengan agregat 4-3.

Kabar buruknya? Mereka harus menunjukkan keberanian dan determinasi untuk menahan imbang 2-2 di kandang sendiri, dan hanya unggul agregat tipis 4-3.

Inzaghi Harus Segera Perbaiki

Begitu euforia perayaan usai dan Simone Inzaghi menonton ulang rekaman pertandingan — mungkin bahkan langsung saat tiba di rumah — dia akan menyadari hal ini. Dan dia pasti ingin memperbaikinya.

Karena Inter terlalu bagus untuk membiarkan rencana permainan mereka buyar di akhir laga. Duduk bertahan sambil menerima gempuran lawan bukanlah strategi yang ideal untuk tim manapun, apalagi untuk Inter yang sedang tampil sebaik ini.

Saat Benjamin Pavard membawa Inter unggul 2-1 di menit ke-61, mereka memimpin dua gol secara agregat. Bermain di kandang, menghadapi Bayern yang kehilangan Jamal Musiala dan Alphonso Davies (serta beberapa pemain lainnya), seharusnya tugasnya sederhana: pegang bola, serap tekanan seperlunya, cari peluang ketiga jika bisa, dan amankan tiket semifinal.

Namun yang terjadi sejak gol Pavard hingga peluit akhir adalah sebaliknya. Jumlah tembakan: 8-2 untuk Bayern. Expected Goals (xG): 0.58 berbanding 0.10, juga untuk Bayern.

Memang, cuaca di San Siro dingin, berangin, dan hujan deras sepanjang babak kedua. Tapi kondisi itu sama beratnya untuk Bayern. Justru dalam kondisi seperti itu, risiko bola liar, angin kencang, atau pantulan buruk jadi makin besar ketika bola terus-menerus berada di area kotak penalti sendiri.

Kehilangan Momen dan Terlalu Hormati Lawan!

Pelajaran seharusnya datang dari gol penyama kedudukan Eric Dier 15 menit sebelum laga usai, tapi tidak. Inter justru makin mundur, sementara Vincent Kompany mengerahkan seluruh pemain menyerangnya.

Fakta sederhananya: Inter terlalu menghormati lawan. Padahal sebelumnya mereka tampil percaya diri, taktis, dan setia dengan “proses Inzaghi”. Sayangnya, di akhir laga mereka berubah menjadi tim underdog yang bertahan mati-matian.

Padahal, ini adalah semifinal kedua mereka dalam tiga tahun, menghadapi Bayern yang sedang masa transisi, dilanda cedera, dan ditangani pelatih yang belum sepenuhnya dipercaya publik.

Memang ada banyak faktor yang bisa dijadikan alasan. Bayern memang habis-habisan saat itu — dan tak mudah menghadapi tim yang “lempar dapur” ke lini serang. Mehdi Taremi dimasukkan untuk menahan bola, tapi karena baru pulih cedera, dia kesulitan memberi dampak. Alessandro Bastoni juga tampak kesakitan sebelum akhirnya ditarik keluar dua menit jelang bubaran.

Inter adalah tim yang usianya cukup senior, baik pemain maupun pelatihnya. Jadi bisa dimaklumi kalau mereka akhirnya memilih bertahan begitu kelelahan. Tapi tetap saja, itu tak mengubah fakta. Bayern yang mereka hadapi ini — dalam kondisi pincang dan bukan pada performa terbaiknya — tidak lebih baik dari Inter.

Yang membuat frustrasi, kecuali gol Harry Kane (yang terjadi karena Federico Dimarco memberi terlalu banyak ruang), Inter sebetulnya sukses meredam ancaman Bayern. Bahkan setelah tertinggal lebih dulu, mereka memberi pukulan telak lewat dua gol cepat.

Itu seharusnya jadi momentum untuk menghabisi lawan. Bukannya justru membiarkan rasa takut masuk perlahan.

Catatan Positif dan Pekerjaan Rumah Jelang Lawan Barcelona

Meski begitu, Inter tetap layak lolos. Mereka tetaplah tim yang sangat terorganisir, berhasil menurunkan beban gaji (terendah di antara empat semifinalis Liga Champions musim ini) dan tetap kompetitif — bahkan menjadi salah satu tim terbaik di Eropa.

Fakta bahwa mereka baru kebobolan enam gol sepanjang Liga Champions musim ini, dan hanya tertinggal selama lebih dari 10 menit di seluruh kompetisi ini, benar-benar luar biasa. Tapi catatan itu tidak datang dari tim yang bertahan total di kotak penalti seperti yang mereka lakukan kemarin.

Untuk semifinal nanti menghadapi Barcelona, Inter perlu lebih percaya diri. Jika mereka mampu unggul lebih dulu melawan tim asuhan Hansi Flick itu, menyerang garis pertahanan tinggi Barcelona dengan jumlah pemain dan keberanian yang cukup akan jauh lebih bijak ketimbang memasang “tembok” di depan Yann Sommer.

Karena menghadapi Leroy Sané, Michael Olise, dan Harry Kane yang sedang turun performa tentu berbeda dengan mencoba bertahan dari serangan Lamine Yamal, Raphinha, dan Robert Lewandowski.